Terbongkarnya mafia Saracen sebagai produsen hoax, fitnah, plintiran berita dan ujaran kekerasan, kebencian memberi gambaran riil tentang latar belakang fenomena mutakhir kehidupan politik negeri ini. Bahwa perkembangan politik terutama sejak Pilres tahun 2014 sesungguhnya tidaklah berjalan atas dasar karakter alami masyarakat Indonesia. Ternyata ada variable di luar kekhasan karakter murni masyarakat Indonesia, yang selama ini dikenal keramahannya.
Jika menelusuri perjalanan Pilpres 2014 beberapa tahun lalu, yang berlanjut Pilkada 2017 terutama di Jakarta siapapun yang berpikir jernih akan merasa heran dan bertanyata-tanya. Ada apa sebenarnya dengan perilaku masyarakat Indonesia kok seperti mengalami keterserabutan dari akar karakter keramahan. Mengapa masyarakat seperti begitu mudah terseret arus berbagai ujaran kasar penuh kebencian, kecenderungan terjebak pengerasan sikap kelompok hanya karena perbedaan pilihan politik.
Jangan lupa ujaran kasar penuh sinisme kadang muncul dari para elite dalam menyikapi pemikiran dan sikap para lawan politik. Masyarakat negeri ini tentu masih ingat hingar bingar kampanye Pilres 2014 ketika Jokowi merespon usulan hari santri nasional lantas dikomentari sebagai “sinting.” Bisa dibayangkan kekeruhannya jika dalam kampanye sekaliber Pilres saja muncul kata-kata jauh dari kepantasan.
Pada Pilkada Jakarta putaran pertama, suasana pengerasan kelompok, merebaknya ujaran kasar penuh kebencian di tengah masyarakat lebih terlihat lagi. Media sosial seperti facebook, twitter dan lainnya praktis dipenuhi pertarugan yang jauh dari karakter dan watak keramahaman masyarakat negeri ini. Sumpah serapah, makian kasar, tudingan tidak senonoh bukan hanya mudah ditemukan bahkan mewarnai sebagian besar komunikasi antar masyarakat.
Yang lebih mengerikan berbagai fenomena jauh dari wajar itu kadang menyelinap merasuki berbagai tempat peribadatan. Kalimat-kalimat suci yang biasanya mewarnai tempat ibadah bercampur ujaran kebencian bahkan dalam bentuk perilaku permusuhan hanya karena perbedaan pilihan politik. Mungkin sulit membayangkan bagaimana sebagian masyarakat negeri ini khususnya di Jakarta, hanya karena perbedaan politik, menolak mengurus jenazah seseorang. Bisa dibayangkan tingkat ketegangan yang terjadi jika urusan duka dan musibah kematian saja terkontaminasi permusuhan hanya atas dasar perbedaan pilihan politik.
Saracen mungkin tidaklah sendirian menjadi pemicu kekisruhan dan hingar bingar komunikasi serta perilaku bernuansa permusuhan kehidupan masyarakat. Namun melalui terbongkarnya kasus Saracen masyarakat negeri ini diharapkan bangkit kesadarannya bahwa selama ini sebenarnya memang ada upaya sistematis, massif dan terorganisir untuk menumbuhkan dan membangkitkan kebencian sehingga terjadi konflik di tengah masyarakat. Berbagai ujaran kebencian, kekerasan, fitnah bukanlah muncul sebagai proses alami dari karakter masyarakat negeri ini melainkan rekayasa atas dasar kepentingan uang memanfaatkan pesanan kepentingan sempit.
Jika sebelumnya masyarakat begitu mudah menelan mentah-mentah fitnah, ujaran kekerasan, ujaran kebencian, permusuhan, dengan terbongkarnya kasus Saracen ini diharapkan mulai tumbuh kesadaran kolektif bersikap kritis, korektif dan mengembangkan semangat untuk memverifikasi, klarifikasi dan lainnya. Masyarakat diharapkan tidak lagi begitu saja percaya jika menemukan ungkapan dan ucapan jauh dari kepantasan.
Semangat kearifan dan kedewasaan itu, bila menjad filter internal personal sangat diperlukan sebagai fondasi awal agar tidak mudah terpengaruh berbagai rekayasa sejenis Saracen. Apapun yang beredar jika jauh dari kewajaran perlu disikapi secara arif, cerdas, kritis sehingga tidak mudah menjadi korban permainan kepentingan.
Melalui sikap penguatan ketahanan internal inilah sebagai cara paling efektif menghadapi berbagai kekuatan sejenis Saracen. Jika masyarakat tidak mudah terbawa hanyut, Saracen dan sejenisnya, termasuk yang kadang disebarkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab, akan kehilangan pengaruhnya. Mereka pada akhirnya akan menghentikan jika masyarakat tidak lagi menjadi konsumen, yang mudah dipermainkan.
Cerdas dalam menerima informasi, kritis dan teliti menyikapi, bertindak arif dengan melakukan verifikasi, klarifikasi merupakan modal dasar penting di era informasi dan komunikasi serta era media sosial agar masyarakat tidak menari diiringi gendang kepentingan orang lain.