Ketakutan sebagian masyarakat pada Partai Komunis Indonesia (PKI) di era reformasi merupakan sisa dari keberhasilan rekayasa politik rezim Orde Baru. Sepanjang berkuasa –sekitar 32 tahun- Orde Baru sukses menanamkan ketakutan masyarakat melalui berbagai kebijakan sampai propaganda film G30S/PKI. Realitas politik tindakan PKI baik dalam pemberontakan Madiun maupun dalam peristiwa berdarah September 1965 mempermudah Orde Baru menancapkan ketakutan luar biasa pada PKI.
Sebagai kepentingan mempertahankan kekuasaan penanaman ketakutan pada masyarakat dilakukan rezim Orde Baru melalui konsepsi dan perencanaan matang; massif, terstruktur dan sistematis. Semua kanal-kanal komunikasi yang bersentuhan dengan masyarakat dibumbui ketakutan pada PKI. Sistem politik formal sekelas DPR, DPRD pun yang seharusnya menjadi format riil perwujudan demokrasi digarap melalui pemaksaan keberadaan fraksi ABRI dengan bumbu-bumbu membentengi perangkat normati dari infilrasi PKI. Praktis tidak ada sedikitpun ruang kosong yang dibiarkan bebas dari rekayasa sistematis menanamkan ketakutan pada PKI.
Bahwa PKI merupakan kekuatan politik yang pernah berhianat pada negeri ini sudah menjadi aksioma tak terbantahkan. Sayangnya, fakta-fakta penghianatan PKI bukan menjadi pembelajaran politik cerdas negeri ini namun disalahgunakan Orde Baru untuk dijadikan amunisi mempertahankan kekuasaan melalui penanaman ketakutan.
Doktrin bahaya PKI alih-alih diarahkan pada pencerdasan bagaimana lebih memahaminya lalu mempersiapkan ketahanan internal pada masyarakat. Bahaya PKI dijadikan alat untuk menciptakan ketergantungan pada kekuasaan melalui doktrin ketakutan. Persis cara-cara orang tua yang terlalu protektif dan posesif pada putra-putrinya dengan menakut-nakuti anak sehingga tercipta ketergatungan berlebihan. Akibatnya anak kurang memiliki kemandirian dalam mempertahankan diri karena potensi bahaya dipaparkan dengan menanamkan ketakutan dan bukan bagaimana merespon secara cerdas, memperkuat pertahanan serta mempersiapkan diri menghadapi bahaya itu.
Proses seperti itulah yang ditanamkan Orde Baru terkait bahaya PKI. Akibatnya muncul sensitivitas “lebay” tanpa kesadaran memahami serta kemampuan mempertahankan diri apalagi merespon dalam kesiapakan strategis. Yang lebih banyak terjadi akhirnya reaksi-reaksi emosional, jauh dari upaya menyentuh subtansi persoalannya.
Fakta-fakta politik seperti dipaparkan Buya Syafi’i Maarif bahwa induk komunis di Uni Soviet, Cina, Kuba dan lainnya sudah kurang laku tidak mudah menyadarkan masyarakat pada kondisi obyektif keberadaan komunis (PKI). Sebab, rasionalitas masyarakat terlalu lama terbelenggu dan terkungkung ketakutan berlebihan tanpa bekal kemampuan merespon secara cerdas dan strategis. Karena hanya “ketakutan” spontanitas keberanian mudah bergeser pada persoalan yang kadang tidak berhubungan dengan realitas PKI. Pelampiasan ketakutan –itu tadi- karena jauh dari rasional akhirnya mudah bertitik tolak atas dasar permainan kepentingan politik.
Sejatinya bukan ketakutan yang belakangan merebak di tengah masyarakat negeri ini. Yang terjadi –tanpa mengurangi kewaspadaan- lebih merupakan olahan kepentingan pertarungan kekuatan politik. Ketakutan pada PKI telah bergeser menjadi amunisi pertarungan kepentingan politik memanfaatkan “investasi” ketakutan yang telah lama ditanamkan rezim Orde Baru.
Mengherankan ketika NU dianggap miring dan terlalu memberi angin pada kebangkitan PKI hanya karena belakangan lebih dekat pada kekuasaan pimpinan Presiden Jokowi serta sampai sekarang masih duduk manis sambil menikmati secangkir kopi kekuasaan. Padahal NU merupakan kekuatan paling agresif ketika melawan PKI di tahun 1965 an. Ini menegaskan kecerdasan NU memahami logika yang berkembang di tengah masyarakat. Bahwa yang terjadi sebenarnya, dalam pandangan NU, tak lebih dari angin ketakutan politik dan bukan realitas sebenarnya. Karena itu NU lebih memilih menikmati kue kekuasaan ketimbang sibuk merespon bayang-bayang ketakutan yang sudah jelas tidak lebih dari permainan pertarungan kepentingan politik.
Siapa menebar dan ingin memanen ketakutan pada bayang-bayang PKI? Mudah menjawabnya. Apalagi kalau bukan kroni-kroni rezim Orba yang bertanggungjawab menciptakan dan menanamkan ketakutan yang secara sengaja menumpulkan logika perlawanan pada PKI. Mereka memanfaatkan sisa-sisa ketakutan masyarakat untuk kembali masuk ke gelanggang; lagi-lagi bukan melalui proses pencerdasaan dalam merespon idiologi komunis. Tetap dalam langgam lama menebarkan ketakutan dan bukan mencerdaskan, memberi benteng rasional dan konsepsi obyektif lainnya.
Kekurangberhasilan pemerintahan sejak reformasi ditambah problem imbasan fluktuasi ekonomi global hingga menimbulkan persoalan ekonomi di tengah masyarakat memang mudah menjadi lahan subur sasaran permainan kepentingan politik memanfaatkan isu bahaya PKI. Kegenitan beberapa politisi dari partai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi, seperti menghembuskan angin makin memanaskan bara ketakutan pada PKI.
Idiologi komunis, disadari tak akan pernah mati dan bukan hal luar biasa bisa mewujud kembali baik dalam bentuk PKI maupun kekuatan politik lainnya. Namun demikian sulit pula diingkari bahwa komunis saat ini praktis bukan lagi sebuah pilihan prioritas ketika ternyata terbukti gagal memenuhi harapan. Anatomi utama komunis yang anti demokrasi, mengkungkung ekspresi pemikiran dan perilaku masyarakat secara faktual bertolak belakang dengan realitas era informasi dan komunikasi, yang antara lain mewujud gelombang media sosial. Akan sangat sulit idiologi dan kecenderungan mewujud kekuasaan sentralistik serta tertutup seperti komunis hidup di era super terbuka dan egeliter seperti sekarang ini. Kalau toh ada komunis akan lebih mewujud sebagai kerikil dalam sepatu kekuasaan ketika sebuah negara gagal menyelesaikan berbagai persoalan masyarakatnya.
Di sinilah sangat tepat apa yang dikemukakan Buya Syafi’i Maarif bahwa potensi bahaya komunis akan muncul bila merebak ketakadilan, terjadi kesenjangan ekonomi, iklim politik mengarah pada monolitik. Fondasi utama keterikatan agama masyarakat terperangkap pemahaman elementer, makin mempermudah pintu masuk bahaya komunisme. Jika kapitalisme, neoliberalisme mewujud tanpa kendali sehingga menciptakan berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat, komunis akan menemukan pintu masuk. Bahkan bukan hanya komunis, akan antri pula radikalis, infiltrasi asing, serbuan narkoba, pornografi dan berbagai kekuatan perusak lainnya.
Seluruh komponen negeri ini memang perlu menyadari bahwa bukan hanya komunis, yang mengintip akan merongrong negeri ini. Karena itu diperlukan kemampuan peningkatan ketahanan internal melalui proses pencerdasan secara konseptual, peningkatan kehidupan ekonomi, penegakan hukum, pengembangan politik demokratis dan terutama peningkatan keterikatan keagamaan integral, yang tidak sekedar sibuk dalam urusan seremonial elementer.