Di tengah gempita pembelaan pada Etnis Rohingya, yang menjadi korban tindakan kebrutalan militer Myamar menyelinap nuansa serangan politik pada pemerintahan Presiden Jokowi. Berbagai pembelaan itu seperti permainan karambol; terkesan diarahkan pada Rohingya namun efek utamanya berupa serangan politik pada pemerintah.
Tak perlu mengacu pada pernyataan Kapolri Tito Karnavian yang menegaskan adanya sebagian masyarakat memanfaatkan tragedi Rohingya untuk menyerang pemerintah. Dengan mencermati dinamika pemberitaan beberapa link terlihat sangat jelas bahwa kasus Rohingya ternyata dijadikan pula sebagai amunisi politik.
Yang paling menonjol serangan menuding pemerintah bersikap lamban dan menganggap pemerintah Jokowi terkesan tak peduli. Lalu, bermunculan komentar menggiring kembali opini bahwa pemerintahan Jokowi, kurang memperhatikan aspirasi ummat Islam. Pemerintah tidak peduli bila menyangkut kepentingan ummat Islam.
Penjelasan Presiden Jokowi bahwa pemerintah Indonesia telah membangun sekolah di lingkungan masyarakat Rohingya dijadikan olok-olok dengan menyebutkan bahwa yang membangun sekolah ternyata LSM PKPU. Beruntunglah PKPU mengklarifikasi dengan menyebutkan bahwa ada empat sekolah yang di bangun di sana, dua oleh pemerintah, dua oleh PKPU. Dengan tegas Direktur Program PKPU Tomy Hendrajati menyebutkan bahwa bantuan pada Rohingya dari “kita” Indonesia; rakyat dan pemerintah Indonesia.
Bumbu-bumbu berupa foto hoax tentang tragedi Rohingya dijadikan senjata menyerang pemerintah makin mempertegas pemanfaatan untuk kepentingan politik. Sebagian besar gambar yang disebarkan hoax, yang sama sekali tak terkait Rohingya. Sebuah foto perempuan meninggal, lalu di atas tubuh perempuan ada anak menyusu bahkan diambil dari adegan sebuah film. Benar-benar sebuah manipulasi yang apapun tujuannya merupakan tindakan jauh dari kepantasan.
Sangat menyedihkan bila ternyata ini benar. Sangat terasa sekali makin menipis etika berpolitik di negeri ini. Bayangkan, nestapa dan tragedi pahit etnis Rohingya dijadikan senjata politik demi kepentingan investasi politik. Ini sama saja dengan menari bergembira ria di atas penderitaan yang dialami etnis Rohingya. Nestapa Rohingya dijadikan amunisi politik dengan berkedok seakan membela etnis Rohingya. Menyedihkan.
Siapapun yang berpikir waras akan sepakat bahwa korban tindakan kekejaman, korban tragedi kemanusiaan harus dibela. Mereka yang melakukan tindakan dzalim itu wajib dicegah dengan segala cara. Tidak perlu melihat latar belakang agama, suku, golongan atau identitas lainnya. Siapapun, yang menjadi korban tindakan penghancuran kemanusiaan wajib dibela.
Karena itu, tak ada yang luar biasa jika masyarakat negeri ini begitu bersemangat membela masyarakat Rohingya, yang menjadi korban tindakan kekerasan militer Myanmar. Semua mencerminkan respon dan reaksi aktif melawan penindasan nilai kemanusiaan. Apalagi jika mencermati kesamaan latar belakang keterikatan keagamaan etnis Rohingya dengan sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Sudah pasti ada nuansa keterikatan emosional lebih kental dengan etnis Rohingya.
Apakah itu rakyat Indonesia sendiri, maupun pemerintah, karena menyangkut persoalan tragedi kemanusiaan tergerak memberikan respon kepedulian. Pemerintah Indonesia, seperti disebutkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi adalah negara pertama, yang turun memberikan bantuan pada etnis Rohingya. Sebuah sikap perwujudan nilai-nilai Sila kedua Pancasila “Kemanusian Yang Adil dan Beradab.”
Sayang memang, niat dan semangat bersih rakyat dan pemerintah negeri ini, direcoki sebagian kecil politisi bermental kerdil, yang tak bisa membedakan kepentingan nurani dan ambisi politik. Kepahitan dan derita serta nestapa panjang etnis Rohingya, yang diteriakkan sebagai saudaranya, dijadikan sebagai amunisi politik. Berteriak membela Rohingya, yang dituju serangan politik pada pemerintah: demi sebuah kekuasaan. (*)