Bertemu pedagang keliling membawa gerobak, bukan hal luar biasa di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang. Tapi bila aktivitas sejenis ditemui di kota-kota kecil seperti di empat kabupaten Madura dan daerah lain di Jawa Timur sudah jelas memberi gambaran tentang denyut nadi baru ekonomi di tengah masyarakat. Makin terasa perkembangan dinamika ekonomi meninggalkan cara-cara konvensional.
Di empat Kabupaten Madura dan beberapa daerah di Jawa Timur, dari segi teknis bahkan jauh lebih maju dari kota besar. Mereka lebih mobile karena menggunakan sepeda motor bahkan mobil bak terbuka. Di Jakarta dan kota besar lainnya sebagian besar para pedagang keliling terutama sayur mayur kebutuhan ibu rumah tangga masih menggunakan gerobok dorong. Lagi-lagi sebuah dinamika pergerakan ekonomi, yang makin penuh varian meninggalkan cara-cara lama.
Pasar dengan demikian memang tak lagi diam. Pedagang tidak mungkin lagi sekedar menunggu. Bisnis online, yang belakang marak dan jadi perbincangan makin menjadi keniscayaan yang sulit dihindari. Apalagi bisnis online bukan lagi sekedar sebuah terobosan baru tetapi lebih merupakan upaya mensiasati kemacetan, efektivitas, kepraktisan dan tentu juga cost yang bisa jadi akan jauh lebih membengkak bila berbelanja langsung. Ini belum lagi sebagai tujuan menghindari godaan membeli barang yang kadang kurang dibutuhkan bila harus mendatangi pusat perbelanjaan.
Ada yang berpikir sinis pengungkapan perkembangan gaya berdagang baru ini hanya sekedar sebagai pembenaran atau sikap berkelit terkait sepinya pusat perbelanjaan. Tetapi cobalah simak perkembangan perusahaan jasa pengiriman barang, belakangan ini. Mereka kewalahan melayani pengiriman barang sebagai dampak derasnya bisnis online.
Baiklah ini soal perspektif yang bisa jadi tak lepas dari kepentingan. Kembali pada para pedagang keliling di atas yang makin jadi kebutuhan, sangat jelas menggambarkan kebutuhan masyarakat dan ketajaman para pengusaha kecil mencermati ruang-ruang usaha. Ketika membeli atau menyewa kios, lapak sulit serta mahal mereka kemudian memilih dan melayani masyarakat yang tak mau repot-repot ke pasar. Ibu rumah tangga yang sekedar hanya membeli tempe dan sayuran untuk keluarga kecil kemungkinan besar memilih para pedangang keliling dibanding harus ke pasar. Sedikit lebih mahal, tapi dari kalkulasi cost pengeluaran tetap lebih murah.
Belantara bisnis, memang sangat luar biasa dinamis bahkan cenderung liar. Persaingan keras menerobos dan mulai merobek berbagai tradisi lama, menawarkan tradisi instan yang sesuai kebutuhan. Pasar bergerak tak terduga dan ini membuat para pedagang, pengusaha harus berpikir keras mencari berbagai teroban baru.
Puluhan tahun lalu Gus Dur pernah “nyeletuk” lewat kolom kocak tentang lagu Jawa di Rumah Makan Padang. Sebuah interaksi budaya yang tak sekedar menyangkut selera menikmati seni. Di situ diam-diam sebenarnya tergambar pula pergulatan bisnis. Bahwa bukan hanya orang Minangkabau yang terjun dalam bisnis Rumah Makan Padang. Kalangan masyarakat luar Minang pun merasuki mewarnai urusan kebutuhan perut sehari-hari.
Yang terbaru mungkin bisa dilihat lagi lebih kongkrit belakangan ini. Apa itu? Ah, cobalah tebar pandangan di daerah pinggiran perkotaan. Makin banyak Rumah Makan Padang dengan label menggoda: Cukup 10 ribu, dijamin puas. Rasa makanan Padang tetapi strategi meraih pembeli menggunakan menejemen Warung Tegal. Selera Padang, harga Warung Tegal.
Jangan berpikir di sana akan ditemui Uni dan Uda, yang siap mencatat setiap usai bersantap. Para pemilik dan pengelola praktis tak akan berlogat Minangkabau. Rasa memang masih masakan Padang, pelayanan dan semua atmosfir serta menejemen lebih banyak bernuansa daerah dalang Ki Enthus, Tegal, Slawi dan sekitarnya.
Jadi, bukan lagi para pelayan yang bukan orang Minangkabau. Pemilik, pengelola dan kultur strategi bisnis yang dibangunpun bukan dari Tanah Minang. Batas-batas budaya menipis, tercairkan oleh sebuah kepentingan bernama meraih sebanyak-banyaknya pembeli. Ayo, jangan lagi sekedar bekerja. Harus selalu berpikir. Buang jauh-jauh slogan “bekerja tanpa berpikir, apalagi berpikir tanpa bekerja.” Kerja, bisnis, makin menuntut kreativitas luar biasa. Bila tidak, siap-siaplah dagangan atau produk bertumpuk di gudang.