Ketika pemerintah mempersiapkan langkah riil berikutnya dalam membantu krisis Rohingya berbagai komentar miring muncul. Pemerintah dianggap lamban merespon kasus Rohingya, pemerintah dinilai kurang peduli, disebut lamban dan tudingan kurang elok lainnya. Namun, ketika kemudian pemerintah mengirimkan bantuan kepada Rohingya ternyata masih saja dipandang negatif. Presiden Jokowi dituduh melakukan pencitraan.
Tudingan miring itu antara lain datang dari Prabowo Subianto dan M. Amien Rais ketika menyampaikan orasi dalam demonstrasi peduli etnis Rohingya. Keduanya sebagaimana dimuat berbagai media menganggap bantuan pemerintah tak lebih dari pencitraan Presiden Jokowi agar mendapat simpati masyarakat Indonesia.
Sudah pasti tudingan pencitraan dari M. Amien Rais dan Prabowo lebih merupakan sebagai sikap politik dan bukan langkah kemanusiaan. Yang lebih mengemuka di sini melihat persoalan Rohingya demi kepentingan politik. Rohingya tak lebih dari sekedar titik masuk untuk melakukan serangan politik. Bukan perjuangan membantu etnis Rohingya yang menjadi subtansi tapi kepentingan politik menyerang apapun yang dilakukan Presiden Jokowi.
Lebih terlihat lagi ketika M. Amien Rais dalam demonstrasi peduli Rohingya itu berbicara tentang PKI dan kecebong. Sesuatu yang sama sekali tak berhubungan dengan Rohingya sehingga makin menegaskan bahwa Rohingya sekedar titik masuk untuk mengedepankan kepentingan politik.
Sempat menjadi viral komentar dua tokoh itu. Viral di berbagai media, termasuk pula di media sosial karena terasa membingungkan. Betapa tidak, ketika masih dipersiapkan pemerintah dianggap kurang peduli, ketika sudah ada tindakan riil, mengirimkan bantuan dinilai dan dipandang pencitraan. Jadi, yang benar bagaimana?
Inilah realitas jagad politik membingungkan di negeri ini. Sebuah sikap politik dari para politisi yang berada di luar kekuasaan, yang jauh dari mencerminkan kearifan berpolitik. Yang terpapar bukan ikhtiar proses pendewasaan politik masyarakat, beberapa elite politik justru menjadi bagian dari pembingungan politik, yang jauh dari semangat mencerdaskan masyarakat.
Terasa sekali berbagai komentar membingungkan itu lebih dari sekedar asal beda. Bahkan, apa yang dilakukan bukan lagi mencari-cari kesalahan yang dikerjakan pemerintah. Mencari-cari kesalahan boleh jadi masih bermuatan positif karena yang dicari masih “kesalahan.” Pada komentar dua tokoh nasional itu yang terlihat justru distorsi dan penyesatan opini: sesuatu yang benar dianggap salah. Standar kebenaran dijungkirbalikkan atas dasar apriori dan kepentingan politik.
Yang dikembangkan mengesankan menggiring antipati dan kebencian melalui cara pandang bahwa apapun yang dilakukan pemerintah selalu salah. “Ketika masih berbenah mempersiapkan bantuan pada Rohingya salah, saat sudah mengirim bantuan masih saja, dianggap salah.” Apalagi jika ini bukan politik menggiring kebencian serta antipati irrasional?
Sebenarnya merupakan hal wajar kekuatan politik yang berada di luar kekuasaan mengkritisi pemerintah. Ini merupakan keniscayaan dinamika demokrasi universal yang dibutuhkan agar kehidupan politik berjalan baik. Bahwa ada yang menjalankan pemeritahan, ada kekuatan politik yang memberikan keseimbangan melalui pengawasan, mengkritisi, menawarkan konsep-konsep berbeda, mendorong alternatif penyelesaian masalah bangsa dan lainnya. Semangat dan titik tolaknya adalah kebaikan dan kemaslahan bagi negeri ini.
Bahkan jikapun sampai pada tahap kompetisi politik riil dalam pelaksanaan Pemilu semangat ingin mendapatkan kepercayaan masyarakat dikembangkan atas dasar bagaimana menawaran konsep-konsep terbaik dan bukan menebar kebencian. Dengan demikian masyarakat memilih pemimpin karena menilai konsepsi dan program lebih baik dan bukan karena ketaksukaan atau kebencian kepada yang tidak dipilih.
Bangunan politik seperti itulah yang seharusnya dikembangkan jika negeri ini ingin lebih cepat mencapai kemajuan. Semangat yang dikedepankan berusaha menampilkan gagasan-gagasan terbaik, konsepsi terbaik, termasuk mengkritisi secara obyektif. Bukan menebar kebencian apalagi sampai memanipulasi sebuah kebenaran menjadi kesalahan.