Masyarakat Madura yang terkenal religius antara lain melalui ketaatan dan penghormatan kepada kiai, ulama, pemuka agama, secara sosial dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan terasa unik. Ada paradoks kental jika mengkaitkan kehidupan sosial masyarakat Madura yang sangat patriarki dengan keterikatan keagamaan Islam. Di satu sisi Islam mengajarkan penghargaan dan penghormatan kepada kaum perempuan, namun di sisi lain kultur patriarki yang memposisikan laki-laki sangat dominan serta cenderung menguasai kaum perempuan terasa kental di kalangan masyarakat Madura.
Pada beberapa kasus, tingkat kekentalan kultur patriarki ini di kalangan masyarakat Madura kadang sampai taraf berlebihan hingga kurang memberi apresiasi sosial memadai. Kaum perempuan menempati ruang-ruang sempit, yang kadang agak terabaikan dari wacana sosial. Eksistensi perempuan seakan tenggelam dalam keperkasaan kaum laki-laki baik dalam lingkup terbatas maupun di wilayah publik.
Memang, dalam tiga dasa warsa belakangan ada peningkatan aktivitas perempuan di wilayah publik. Namun tetap lebih merupakan aktivitas dalam kultur patriarki; perempuan berada dalam desain pikiran serta kendali laki-laki. Inisiatif, kreativitas, serta ekspresi belum berkembang bebas dari kalangan perempuan. Ada semacam keharusan perempuan masih harus mendapat izin dan persetujuan laki-laki bahkan sepenuhnya dalam bingkai pengawasan ketat kaum laki-laki.
Dalam kehidupan rumah tangga, jika sebatas relasi dalam format komunikasi mungkin masih bisa dipahami. Tetapi jika sampai taraf membelenggu ekspresi, kreativitas, inisiatif kaum perempuan, dampak sosialnya akan sangat serius. Komunitas masyarakat Madura akan sulit berkembang dan berperan penting di tengah dinamika kehidupan sosial. Sangat mungkin masyarakat Madura akan tertinggal dibanding masyarakat daerah lainnya.
Di dunia ini, masyarakat yang masih hidup dalam kultur patriarki cenderung mengalami kemandegan dan keterlambatan dalam peran peradaban. Sebab, patriarki secara tidak langsung mengurangi dan bahkan bisa jadi membatasi potensi seluruh komunitas masyarakat untuk tumbuh optimal. Ada posisi dan peran sosial yang tereduksi khususnya dari kalangan perempuan.
Ini sangat terkait langsung terutama dengan pengabaian potensi kaum perempuan sebagai kekuatan pendidikan. Jika kaum perempuan terbelenggu, terbatas aksesnya ke ruang publik akan terjadi pemiskinan pengetahuan. Dengan sendirinya proses peran pendidikan tidak dapat berjalan optimal sehingga generasi mendatang, sangat terbatas mendapat transfer pengetahuan.
Karena itu penting dengan melihat posisinya, para ulama, kiai, tokoh-tokoh agama Madura, mendorong mencairkan relasi laki-laki perempuan agar lebih memberi ruang ekspresi, membangun kesadaran hak masing-masing pihak, tanpa harus melabrak kondrat. Bagaimanapun kultur patriarki yang ekstrim, yang membiarkan penguasaan laki-laki pada perempuan secara berlebihan, dapat menghancurkan potensi kemampuan pendidikan perempuan dalam proses peningkatan kualitas generasi mendatang.
Jika perempuan tetap dalam belenggu kultur patriaki, akan sulit memberikan kontribusi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Karena kaum perempuanlah secara sosial yang memiliki peluang lebih baik dalam peran peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Perlu dirumuskan lebih segara hubungan laki-laki dengan perempuan dalam konsteks kepentingan kemajuan masyarakat Madura, tanpa harus melabrak peran kondrati perempuan. Apalagi ketika tantangan masa depan makin menuntut kualitas sumber daya manusia. Sebuah kondisi yang mempertegas keharusan peningkatan peran perempuan berkualitas.