SUMENEP, koranmadura.com – Konflik pengelolaan Asta Tinggi dan tanah percaton milik keluarga raja Sumenep, Madura, Jawa Timur, antara Yayasan Penjaga Asta Tinggi (Yapasti) dan Yayasan Penambahan Somala (YPS) tampak semakin runyam.
Saat ini, tanah seluas 12 hektare versi Yapasti telah dikuasai pihak lain yang mengatasnamakan pengelola Asta Tinggi. Sebut saja Yayasan Penambahan Somala (YPS).
Yapasti bertekad akan mempertahankan status pengelolaan Asta Tinggi dan tanah percaton tersebut. Hal itu dikatakan oleh RB Taufikurrahman yang mengaku keturunan dari keluarga keraton Pangeran Anggadipa atau Karang Toroy. Pangeran Anggadipa berkuasa di Sumenep sejak 1626-1644.
Menurutnya, sesuai bukti-bukti kepemilikan, termasuk liter C, masih atas nama keluarga besar dirinya. “Lahan seluas 12 hektare itu di Letter C atas nama nenek saya,” kata RB Taufiqurrahman.
Dia katakan, sesuai silsilah tanah percaton itu diberikan kepada RB Abd Sakur selaku keturunan Pangeran Anggadipa atau Karang Toroy. Kemudian RB Abd Sakur mempunyai keturunan bernama RB Mohammad Rifa’e.
RB Mohammad Rifa’e mempunyai keturunan bernama RA Aminatussyahro. “Sementara RA Aminatussyahro ini adalah ibu saya,” jalasnya.
Dengan begitu, kata RB Taufiqurrahman, orang yang mengklaim tanah percaton tersebut tidak benar. Oleh sebab itu, pihaknya akan menggugat perpindahan tanah tersebut, sehingga bisa dikembalikan kepada ahli waris yang sah secara hukum. “Yang jelas, pasti kami gugat nanti, karena sudah jelas kami yang mempunyai hak atas tanah itu,” tegasnya.
Sementara Ketua YPS Mohammad Amin mengatakan tidak ada maksud untuk merebut tanah percaton. Dirinya saat ini fokus memperbaiki struktur kepengurusan penjaga Asta Tinggi.
Versi Mohammad Amin, tanah percaton dikabarkan hendak dikuasai pihak lain.Tujuannya untuk dijual. “Kabarnya ada yang sudah bayar DP Rp 1 miliar. Ada Rp100 juta. Makanya, saat itu kami tindaklanjuti ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk diblokir di pertanahan dan jangan dilanjut,” ucapnya.
Ditanya munculnya liter C, menurut Amin, itu sudah terjadi sejak sekitar 1968. Saat itu di lokasi tanah percaton masih belum tertata seperti saat ini. Oleh karena itu, penjaga Asta memilih keluar daerah untuk mencari nafkah. Agar aset kraton itu tertata, maka diukur atau diklasir oleh pihak pertanahan dan dibebankan penjaga asta untuk membayar pajak kepada pertanahan.
“Jadi, meskipun sudah keluar liter C, pengelolaannya tetap kewenangan keturunan raja langsung. Tidak boleh ada campur tangan dari pihak luar,” tandasnya. (JUNAIDI/RAH)