“Coba Tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, menfitnah orang lain, musrik di dalam Tuan punya pikiran atau perbuatan. Maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: Tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi walau hanya sebesar biji asampun dan separauh dunia akan mengatakan Tuan orang Kafir. Inilah gambarnya jika ummat Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja tidak mementingkan isi.”
Kalimat tajam relatif panjang itu merupakan pernyataan Bung Karno pada tahun 1940, dalam buku menarik berjudul Islam Sontoloyo. Bung Karno seperti menyindir perilaku ummat Islam yang gampang bereaksi untuk hal-hal yang sebenarnya tergolong soal kecil. Sebut saja soal yang lebih merupakan kesalahan personal melanggar ajaran agama Islam seperti memakan babi. Namun ketika hal-hal yang serius, berdampak besar ,kadang ummat Islam melupakan atau bahkan mengabaikan.
Makan hak anak yatim, menfitnah, musrik sangat jelas merupakan soal mendasar, sangat prinsip dalam ajaran agama Islam. Surat Al Maun bahkan menegaskan mereka yang tidak peduli pada anak yatim saja disebut pendusta agama, apalagi yang memakan hak anak yatim. Menfitnah dalam al Quran sangat jelas merupakan kejahatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Apalagi musrik yang dalam Islam disebut sebagai dosa tak terampuni. Naudzubillah.
Begitulah, seperti disebut Bung Karno, hal-hal besar itu justru kurang mendapat perhatian ummat Islam. Yang lebih mendapat sorotan sering hal-hal elementer. Contoh paling sederhana yang belakangan ini lagi marak jadi perbincangan: masalah komunis. Bahaya komunis yang belum terjadi diteriakkan sedang kenyataan bahaya narkoba yang sudah menelan korban hampir 6 juta penduduk negeri ini terabaikan. Tak ada demo para ulama, tokoh agama, organisasi kemasyarakatan Islam menyangkut soal bahaya narkoba. Alih-alih meminta Presiden Jokowi lebih berani menghukum para pengedar narkoba, langkah pemerintah yang serius menghukum mati kadang dipandang sebelah mata.
Pernyataan Bung Karno itu sangat terasa sekali terutama terkait ramainya dunia media sosial belakangan ini. Menfitnah lawan politik termasuk pemerintahan Presiden Jokowi dianggap hal biasa. Gampang sekali ditemui plintiran berita, pemutarbalikkan fakta, fitnah, hoax, menyebar di tengah masyarakat. Ironisnya, seperti kata Bung Karno, reaksi ummat Islam, termasuk para elitenya seperti kurang peduli. Padahal, sangat jelas menfitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Yang lebih menyedihkan, sering fitnah-fitnah beraroma politik itu dibungkus ajaran suci agama. Ini artinya agama yang sangat jelas melarang perbuatan menfitnah justru dijadikan semacam pembenar dengan menjadikan sebagai legitimasi melalui pemakaian simbol-simbol agama. Bukan rahasia lagi banyak website-website menggunakan kosakata agama tetapi isinya lebih banyak plintiran dan fitnah luar biasa. Ada pula website yang sengaja mengelabui pembaca dengan memirif-mirifkan dengan website mainstream.
Paling mutakhir fitnah pada pemerintah khususnya Menteri Agama Lukman Saifuddin bahwa beberapa minuman dilebeli halal. Di situ dikesankan bahwa sejak sertifikasi halal dicabut pemerintah dari MUI, pemerintah memberi label halal pada berbagai hal yang haram.
Luar biasa bukan. Mereka yang melakukan fitnah dengan “mengesankan” dakwah itu bukan hanya melabrak ajaran agama. Mereka secara jelas bahkan telah menjadikan nuansa agama sebagai bungkus fitnah agar masyarakat lebih mudah percaya. Sebuah kebiadaban luar biasa, yang sudah pasti jauh lebih kejam dari sekedar pembunuhan.
Kritikan Bung Karno dalam Islam Sontoloyo itu tentang sikap ummat Islam yang lebih memperhatikan kulit bukan hanya terbukti. Belakangan bahkan merebak pula kecenderungan lebih parah dengan menjadikan agama sebagai bungkus tindakan bertitik tolak kepentingan poltik yang bertentangan ajaran agama itu sendiri. Fitnah yang dilarang ajaran agama tak hanya diabaikan seperti kata Bung Karno bahkan dilakukan dengan sadar melalui cara-cara mengerikan memfaatkan simbol-simbol agama.
Tabayyun, mengecek, mengklarifikasi, memverifikasi, bertanya dan sejenisnya mutlak harus dilakukan bila mendapatkan informasi apapun. Di era media sosial sekarang ini, kebebasan seperti bendungan jebol. Bukan hanya air yang mengalir deras tapi juga ada sampah, bangkai busuk, limbah, kotoran dan sejenisnya. Makin sulit mendapatkan air jernih dan bersih. Begitulah.