“Manusia, jika tidak dilatih akan memiliki kecenderungan bakat untuk menerima, bukan memberi. Semangat memberi atau berbagi harus diasah sejak anak-anak,” tutur seorang kawan. Jika sejak kecil tak ada upaya menumbuhkan semangat memberi, lanjutnya, kecenderungan menerima berpeluang berkembang lebih buruk hingga lebih ekspansif menjadi bersemangat meminta-minta.
Perilaku manusia ini tak terkait pada kepemilikan harta. Bisa terjadi pada kalangan miskin, sedang dan mereka yang bahkan memiliki kemampuan lebih. Jadi semangat menerima dan bahkan meminta bukan monopoli kalangan ‘papa.’ Mereka yang kadang tergolong kayapun jika dari sejak awal jauh dari kebiasaan memberi; lebih membiarkan semangat menerima termasuk meminta; kekayaan berlimpah tak akan berpengaruh. Tetap saja mudah menengdahkan tangan.
Tentu saja jangan membayangkan mereka berjalan membawa mangkok kecil di pinggir jalan atau di lampu merah. Cara mereka yang kaya jelas berbeda dan bisa jadi sangat canggih. Kesan menerima dan meminta tak terlihat di permukaan. Namun secara subtantif sesungguhnya tak berbeda dengan mereka yang berada di pinggir jalan sambil membawa mangkok kumuh.
Sudah sering terdengar cerita di tengah masyarakat kebiasaan ironis tentang sikap menerima ini. Ketika terdengar ada program pembagian bantuan kadang mereka yang sebenarnya tak memiliki hak memoles diri agar terkesan layak menerima. Mereka secara diam-diam atau terang-terangan berupaya mencari cara mendapat bagian.
Masih ingat saat pembagian tabung dan kompor gas gratis beberapa tahun lalu? Mereka yang sudah mampu membeli bahkan sudah memiliki yang jauh lebih besarpun tetap meminta. Ada yang lebih halus dengan tidak meminta tetapi ketika diberi diterima juga. Bisa jadi hampir tak ada yang mengatakan, “Maaf, saya tidak berhak menerimanya. Berikan saja, kepada yang lebih berhak.” Alih-alih bersikap kesatria seperti itu, jika ada kesempatan berusaha mendapatkan lebih.
Secara alamiah karakter minus ini akan makin mekar bila tidak diupayakan mengembangkan dan melatih potensi memberi dari sejak dini. Pararel dengan karakter egois pada fase perkembangan anak; jika karakter itu dibiarkan tanpa ada upaya pembinaan, sikap mementingkan diri sendiri itu akan terbawa sampai dewasa.
Yang menarik semua agama di dunia ini mengajarkan sikap memberi ini. Bahkan bila dikaji lebih dalam ternyata pesan semua agama terkait dorongan kepedulian kepada sesama; semangat kemanusiaan untuk memberi makna dan manfaat pada orang-orang sekitar. Seremoni semua agama juga merupakan simbol yang mengajarkan tentang kepedulian. Bagaimana mengedepankan kepentingan orang lain, membantu sesama. Agama tampaknya memahami kebiasaan meminta manusia itu.
Beberapa ajaran agama menegaskan, “Bukanlah seorang penganut agama jika bersikap pelit.” Ajaran agama lain menyebutkan, “Mereka yang buta mata hatinya pada orang-orang miskin, sebenarnya seorang pendusta agama. Sesungguhnya secara subtantif ia tidak beragama.” Sangat luar biasa sesungguhnya ajaran agama tentang semangat memberi ini.
Sebenarnyalah agama memang turun agar manusia mengedepankan semangat memberi dan peduli sehingga manusia jauh dari watak egois atau mementingkan diri sendiri. Kesadaran spiritual dalam wujud keimanan merupakan tahapan untuk selanjutnya diimplementasikan di tengah kehidupan keseharian. Karena itulah kesempurnaan keterikatan keagamaan manusia harus terangkai dalam kesalehan spiritual dan sosial. Keduanya ibarat dua sisi mata uang logam yang tak terpisahkan.