Oleh: Miqdad Husein*
Kepala daerah tertangkap tangan belakangan ini mulai terasa seperti berita biasa. Dalam kurun waktu sampai jelang pertengahan Oktober, untuk tahun ini saja sudah ada tujuh kepala daerah terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sampai saat ini ada sekitar 77 kepala daerah di seluruh Indonesia yang mengalami nasib serupa kepergok terindikasi melakukan tindakan pidana korupsi.
Berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri, jumlah kepala daerah yang terjerat masalah hukum angkanya sungguh mencengangkan. Tak kurang sekitar 350 kepala daerah yang sudah selesai proses hukum dan terpaksa mendekam di prodeo. Angka itu lebih dari 65 persen dari jumlah kepala daerah di seluruh Indonesia.
Yang menyedihkan dari kasus terjeratnya kepala daerah ini tampak sekali tindakan hukum seperti kurang memiliki efek jera. Masih saja ada kepala daerah yang terkena OTT walau mereka yang sudah diproses hukum angkanya sangat mencengangkan. Mereka para pesakitan baru itu –yang tertangkap belakangan-seperti tidak belajar dari kasus yang menimpa para koleganya. Padahal penindakan hukum itu sudah berkali-kali terjadi tetapi tetap saja seperti tak ada rasa takut pada kepala daerah untuk kembali melakukan tindakan korupsi.
Tentu saja, kejadian berulang ini hingga mencapai angka 77 kepala daerah untuk OTT saja memberi gambaran ada problem besar di lingkaran kepala daerah. Ada gunung es luar biasa yang melingkari lingkungan kepala daerah sehingga masih saja nekad melakukan tindakan melanggar hukum dengan resiko penjara. Bisa jadi di sini bukan lagi sekedar sikap tamak, yang mendorong kepala daerah mengulang kesalahan para koleganya yang terpaksa mendekam di prodeo.
Jika berbicara tentang penghasilan kepala daerah, yang resmi sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan keseharian jauh dari cukup. Di luar gaji resmi, kepala daerah di negeri ini mendapat hasil sangat besar dari tugas misalnya sebagai pengarah pada setiap organisasi perangkat daerah. Jumlahnya, tak ada apa-apaanya penghasilan Pimpinan DPRD jika dibandingkan dengan penghasilan kepala daerah. Apalagi untuk daerah-daerah yang tingkat PADnya sangat tinggi. Masalahnya mengapa dengan penghasilan sangat besar itu kepala daerah masih saja nekad melabrak rambu-rambu hukum. Pasti ada sesuatu yang luar biasa, yang boleh jadi mendesak kepala daerah bersikap nekad dengan resiko sangat berat itu.
UU Pilkada sebenarnya sangat tegas mengatur larangan permainan uang antara calon kepala daerah dengan partai politik pengusung. Sanksinya tidak main-main, bahkan bisa diskualifikasi walau sudah menang sekalipun jika terbukti ada transaksi uang. Partai politik yang menerima uangpun kecipratan sanksi dengan tidak boleh mengajukan calon pada Pilkada berikutnya. Ini artinya secara partai dilarang menerima mahar dari calon kepala daerah.
Penyederhanaan seluruh proses Pilkada yang dibiayai APBN dan APBDpun menegaskan tentang upaya mengurangi beban kepada para calon kepala daerah. Kampanye misalnya, para calon kepala daerah tidak bisa lagi jor-joran seenaknya seperti di masa lalu. Ini lagi-lagi menegaskan bahwa rambu-rambu formal sangat tegas melarang para calon kepala daerah untuk mengeluaran cost tinggi agar tidak menjadi beban saat menjalankan tugas sebagai kepala daerah.
Di luar persoalan mental, tampaknya ada beban cost yang harus dibayar kepala daerah hingga berbuat nekad. Ini mudah terlacak bukan hanya dari proses Pilkada yang memang membutuhkan biaya sangat tinggi, di luar yang diatur UU Pilkada. Transaksi-transaksi dibawah tangan terkait tiket maju Pilkada disinyalir menjadi biang utama yang mendorong kepala daerah nekad. Beberapa kejadian yang tercover media, dari para calon kepala daerah gagal yang terjerat kasus hutang piutang cukup menjelaskan betapa perputaran uang dalam proses Pilkada sungguh sangat mencengangkan.
Jika penghasilan kepala daerah yang sebenarnya relatif cukup besar tidak cukup membayar ‘hutang’ diduga sangat besar sekali beban kewajiban para kepala daerah terpilih. Karena itu mereka terpaksa nekad dengan resiko terkena OTT KPK dan penegak hukum lainnya.
Proses hukum kepada kepala daerah sudah saatnya perlu menelusuri akar masalah dari sejak proses pemilihannya. Penindakan hukum yang menjadi motive utama kepala daerah nekad, perlu ditangani tuntas agar hukum optimal mencegah (preventif) dan bukan sekedar memproses yang sudah terjadi (kuratif). Cost tindakan kuratif jelas sangat mahal baik financial maupun beban sosial lainnya. Belum jika mencermati efek jera yang ternyata belum mampu meredam sikap nekad kepala daerah. (*)