Kata ‘pribumi’ sontak tiba-tiba seperti artis penuh bakat yang menerobos panggung dunia hiburan. Menjadi sangat seksi. Diliput berbagai media, termasuk jadi viral di media sosial. Dikomentari, dibahas, dikaji dari berbagai aspek. Seakan kata pribumi baru muncul dalam khasanah bahasa negeri ini. Luar biasa.
Kehebohan awalnya dimulai ketika Gubernur DKI terpilih Anies Baswedan dalam sambutannya menyebut kata pribumi. Walau kata itu sebenarnya diucapkan terkait paparan era penjajahan Belanda khususnya di Jakarta, namun agaknya kata itu dianggap mewakili pikiran Anies yang bernuansa rasis. Ini agaknya tak lepas dari perjalanan Pilkada Jakarta, yang sejak dari sebelum sampai pelaksanaan, termasuk pasca Pilkada, aroma bernuansa rasis memang sangat terasa. Maka, mudah sekali ucapan kata pribumi yang disampaikan Anies Baswedan dianggap sebagai rasis.
Pasca ucapan itu pro dan kontra seperti air bah mengalir dari dan ke berbagai arah. Pakar hukum merespon memberikan paparan tentang kaitan kata pribumi dengan persoalan hukum di era Hindia Belanda. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra misalnya, panjang lebar memaparkan penggunaan kata pribumi dalam konteks hukum di masa penjajahan Belanda. Saat itu seperti dipaparkan Yusril, penjajah Belada, memang memberlakukan hukum dalam tiga golongan yaitu Golongan Eropa,Timur Asing dan Pribumi. Beberapa kalangan seperti politisi juga memberikan pembelaan dan penjelasan terkait kata pribumi yang disinggung Anies.
Yang kontra dan menilai Anies sebagai rasispun bergelombang dasyat. Lagi-lagi mengkaitkan dengan setting Pilkada Jakarta, yang memang hingar bingar. Walhasil lontaran kata pribumi Anies benar-benar seperti memutar kembali suasana Pilkada Jakarta. Termasuk berbagai asesoris hukum seperti melaporkan Anies ke aparat kepolisian.
Merembes ke sana kemari, memang. Yogyakartapun diajak meramaikan perbincangan soal pribumi. Apalagi kalau bukan ketentuan yang melarang masyarakat Cina memiliki tanah di Yogyakarta dan hanya sebatas hak guna bangunan (HGB).
Di sinilah, kata seperti kata genius bahasa Noam Chomsky memang selalu memiliki muatan kepentingan. Selalu ada peluang pengertian dan manfaat kata ditarik atas dasar kepentingan. Dari sudut pandang yang berbeda kepentingan sebuah kata yang sama bisa memiliki makna berbeda. Kepentinganlah yang membuatnya menjadi berbeda. Mirif sekali dengan aksentuasi sebuah kalimat, yang bila jeda berbeda bisa bermakna lain.
Pada masa Orde Baru seringkali kata tidak menjelakan fakta dan kenyataan sesungguhnya. Kenaikan harga BBM disebut sebagai penyesuaian. Penangkapan lawan politik mengunakan kata diamankan. Dan masih banyak lagi hal-hal sejenis, yang kadang dianggap sebagai penghalusan bahasa walau sebenarnya tak lebih dari pemaknaan atas dasar kepentingan, yang kadang sangat jauh dari arti sebenarnya. Saat Orba tak ada hingar bingar karena berlaku monopoli makna sehingga rakyat kehilangan ekspresi menafsirkan apalagi mengembalikan pada makna sebenarnya.
Nuansa makna atas dasar kepentingan itu akan makin mudah melebar bila politik, yang dari anatominya berlumur kepentingan, menjadi muara atau hulu dari kata itu. Karena itu pribumi yang dilontarkan Anies wajar saja bila kemudian akhirnya jauh lebih banyak pemaknaan, aksentuasi, tujuan dan kepentingannya. Apalagi ketika disadari hingar bingar Pilkada Jakarta seperti masih tersisa.
Belantara media sosial yang belakangan ini makin liar menjadi bumbu pemanas luar biasa sehingga kata pribumipun jadi obyek plintiran. Bukan lagi pemaknaan baru yang muncul. Kata pribumi pun diseret sebagai amunisi hoak, fitnah, plintiran kata dan sejenisnya.
Di sinilah, siapapun dia, terutama mereka yang berada pada posisi sebagai public figur harus menyadari dan memahami belantara informasi dan komunikasi yang makin sulit dikendalikan. Ketika hitam putih masalah mudah digodok hingga tak jelas. Ketika bahkan kesucian agama kadang dijadikan pembungkus fitnah untuk sebuah kepentingan sesaat.
Siapapun saat ini perlu ingat kata-kata bijak bahwa mulutmu, bisa menjadi harimaumu. Begitulah.