Ini tentang dialog dua pemuda, yang tanpa sengaja terdengar ketika sedang menunggu boarding di sebuah bandara. Dua pemuda itu agaknya, seperti kebanyakan pemuda masa kini, menjadi bagian dari komunitas media sosial. Karena itu perbincangan keduanya tak lepas dari apa yang ramai dibicarakan di dunia medsos.
“Menurutmu, lebih bahaya komunis atau narkoba?” tanya salah satu pemuda, yang kelihatan tak lepas dari ponselnya. Yang ditanya menoleh sejenak, melepaskan pandangan dari –juga- ponselnya. Ia tak langsung menjawab tapi menatap heran pada kawannya. “Kok tumben kamu nanya soal begituan?” katanya balik bertanya. “Biasanya, urusan musik, kuliner atau kadang soal artis cantik yang kamu perbincangkan,” katanya lagi sambil sedikit mencibirkan bibir, bercanda.
“Ini lagi ramai diperbincangkan. Entah siapa yang memulai. Bisa jadi karena terkait momentum akhir September dan awal Oktober,” tanggap pemuda, yang memulai bertanya. “Cuma, aku heran kenapa komunis, yang ngak jelas juntrungnya yang diperhatikan. Kenapa soal narkoba yang didepan mata seperti luput dari perhatian. Makanya aku tanya kamu. Mana yang lebih bahaya, komunis atau narkoba?”
“Kamu serius nanya?”
“Ya iyalah. Sekali-kali boleh kan bicara soal serius. Apalagi yang lagi ramai diperbincangkan di medsos,” tanggapnya lagi. “Kamu kan tergolong suka memposting hal-hal serius. Makanya aku tanya itu. Barangkali, ada info menarik dari apa yang biasanya kamu baca.”
“Begini. Ini sih sekedar pikiran sederhana saja. Dari pelajaran sejarah yang kita pelajari memang sih, komunis itu pernah melakukan tindakan kekerasan di negeri ini. Komunis di Indonesia, yang berbentuk Partai Komunis Indonesia alias PKI, dari pelajaran sejarah pernah memberontak pada tahun 1948 dan tahun 1965. Untuk tahun 1965 memang masih ada kontroversi. Tapi jelas, data-data sejarah memang PKI pernah melakukan tindakan brutal, kekerasan dan sejenisnya. Itu di masa lalu ketika komunis masih berjaya.”
Masalahnya, lanjut si pemuda yang ditanya, itu fakta masa lalu. Untuk sekarang agaknya memang berbeda kondisinya. Sekarang ini praktis, tak ada lagi kekuatan komunis internasional yang bisa memback up partai komunis di Indonesia. “Baik di Rusia, Cina, Nicaragua, komunis itu sudah tidak laku. Jadi, aneh jika kita ketakutan pada komunis di era sekarang ini?”
“Jadi, menurut kamu, lebih berbahaya narkoba dibandingkan komunis?”
Pemuda yang ditanya diam sejenak. Dia seperti mengumpulkan tenaga untuk menjawab rentetan pertanyaan kawannya itu. Lalu, sambil menarik nafas panjang, dengan sedikit nada berat ia menjawab, “Memang ada yang membingungkan terkait perbincangan soal komunis,” tuturnya heran. “Komunis yang belum ngapa-ngapain di era sekarang ditakuti sedang narkoba yang sudah menggerogoti anak muda negeri ini seperti dianggap angin lalu. Kurang diperhatikan serius.”
“Coba kamu pikirkan. Sederhana saja. Tak usah sampai mikir nyelimet. Komunis itu untuk sekarang ini ya, belum melakukan apapun kalau dianggap bahaya. Lha, sekarang ini narkoba berdasarkan data BNN sudah menghancurkan sekitar 5,9 juta rakyat negeri ini. Mereka yang 5,9 juta itu praktis sebagian besar sulit diselamatkan.”
“Coba, logis dan realistik tidak pemikiran yang menghawatirkan komunis padahal belum berbuat sementara narkoba sudah riil menghancurkan hampir 6 juta rakyat negeri ini. Sangat jelas, ini pikiran yang jauh dari akal sehat.”
“Sebagian kita sibuk berdemo soal komunis. Berteriak tentang bahaya komunis yang masih belum terlihat nyata. Sementara, yang sudah nyata-nyata merusak rakyat, narkoba, sepi dari demo. Jarang banget tuh, ulama, kiai, ustad, tokoh-tokoh demo besar-besaran soal narkoba. Padahal sudah hampir enam juta korbannya. Mengherankan dan membingungkan bukan?”
“Waspada pada komunis oke saja. Tapi seharusnya kita juga berpikir realistis tentang tantangan dan musuh yang harus dihadapi. Jangan lupa bukan hanya narkoba. Ada pornografi, ada pula tantangan persaingan bebas menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asia, era APEC. Itu semua tantangan berat. Lawan yang harus dihadapi. Dan itu semuanya nyata, riil yang mengharuskan rakyat negeri ini bersiap-siap.”
“Kita-kita ini yang muda seharusnya berpikir jernih, tidak emosional. Kita harus mampu memilah-milah persoalan lalu mempersiapkan langkah-langkah prioritas. Jangan sampai yang sudah terbentang di depan mata dibiarkan, yang masih angan-angan jadi pikiran. Apa nanti kata dunia,” kata si pemuda, yang ditanya sambil membentangkan tangannya. Hampir saja, ponsel yang diletakkan di pahanya terjatuh.
Tiba-tiba terdengar panggilan pemberitahuan petugas bandara untuk memasuki pesawat. Segera para calon penumpang yang sedang menunggu itu bergegas berjalan untuk menaiki pesawat.