Media sosial dan media mainstream belakangan ini membincangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang sudah tiga tahun. Berbagai penilaian muncul terhadap kinerja Jokowi dan JK. Ada yang pro memberikan penilaian positif, ada pula yang bersikap sinis. Demikianlah dinamika politik yang berkembang setelah duet Jokowi dan Jk memimpin negeri ini selama tiga tahun.
Presiden Jokowi dalam paparannya beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa pemerintah sudah menyelesaikan 580 km jalan total dari total target 1850 km. “Kita berharap pada tahun 2019 dapat menyelesaikan 1850 km. Dulu target kita jalan tol hanya 1100 km tapi belakangan direvisi,” jelas Presiden Jokowi.
Terkait proye listrik 35.000 megawatt (MW), saat ini sudah separuhnya terbangun. Pembangunan bendungan dari target 49 bendungan, sudah selesai 80 persen yaitu sebanyak 33 bendungan. Selanjutnya telah selesai terbangun 2710 pasar rakyat baik bangunan baru maupun renovasi dari target 5000 pasar hingga tahun 2019. Di bidang non infrastruktur Presiden Jokowi sudah membagikan Kartu Indonesia Sehat ke 92 juta rakyat Indonesia penerima bantuan (PBI), Kartu Indonesia Pintar (KIP) sudah dibagikan ke 19 juta penerima serta Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 6 juta penerima.
Angka-angka itu bisa dideret lebih panjang lagi apa yang telah dilakukan pemerintah selama tiga tahun ini. Sekedar perbandingan untuk pembangunan tol di era 10 tahun pemerintahan SBY hanya mencapai 212 km sedang di masa Presiden Jokowi yang baru tiga tahun telah mencapai 580 km, lebih dari dua kali lipat. Bahkan pembangunan tol dari era Soehato sampai era SBY berdurasi sekitar 48 tahun hanya mencapai 748 km.
Mungkin masih banyak daftar apa yang telah dilakukan pemerintah era sekarang ini, yang baru berjalan tiga tahun. Namun, yang menarik cara pandang sebagian masyarakat terutama kalangan pendukung lawan Jokowi saat ini. Sampai hari ini masih sangat terasa nuansa belum move on yang antara lain tercermin dalam wujud pandangan jauh dari apresiatif. Alih-alih dukungan dan melupakan kompetisi Pilres, mereka justru menjadi bagian dari cara berpikir menganggap hampir tak ada yang benar apapun kerja keras pemerintah.
Masih ingat kasus bantuan Rohingya? Ketika pemerintah belum mengumumkan berbagai langkah pemberian bantuan, kecaman keras muncul dianggap tidak peduli, tidak memiliki empati, kurang perhatian pada aspirasi dan kondisi ummat Islam dan berbagai komentar pedas lainnya. Lalu ketika pemerintah mengumumkan mengirimakan bantuan, termasuk yang selama ini sudah dikerjakan komentar miring tetap saja merebak. Presiden Jokowi dituding pencitraan dan lainnya. Jadi masih bersiap-siap membantu salah, saat membantu juga salah, dianggap sebagai pencitraan.
Tipologi seperti kasus Rohingyalah yang sangat kencang merebak dalam memandang pemerintahan Presiden Jokowi , dari sebagian masyarakat. Berbagai kerja keras pemerintah, sama sekali tidak dihargai oleh kalangan yang masih belum move on itu.
Namun menarik mencermati berbagai survei terkait kepuasan pada kinerja pemerintah. Hampir semua hasil survey lembaga terkemuka justru memperlihatkan kepuasan masyarakat pada kinerja pemerintah. Angkanya bahkan sebagian besar berkisar di atas 60 persen. Ini menggambarkan bahwa mayoritas masyarakat negeri ini sangat obyektif melihat kinerja pemerintah.
Sebenarnya dalam konteks kepentingan dinamika politik suara-suara mengkritisi pemerintah merupakan hal biasa. Yang tak biasa ketika cara pandang dikembangkan atas dasar apapun yang dilakukan pemerintah tak ada yang benar seperti dalam kasus Rohingya.
Di sinilah penting bagaimana mengembangkan budaya politik bermartabat. Mengkritisi, mengoreksi, memberikan masukan pada pemerintah sangat dibutuhkan sebagai bagian kehidupan politik sehat. Yang perlu dihindari adalah ketika melihat pemerintah semuanya salah; apapun yang dikerjakan dianggap salah. Yang dikedepankan seharusnya sikap obyektif, pandangan jujur dan terutama adil. Jika benar dibenarkan, jika salah dikoreksi, jika telah bekerja diapresiasi. Jangan sampai apapun yang dilakukan pemerintah semuanya dianggap salah. Duh…