Komoditas politik itu bernama Alexis. Ia diposisikan sebagai sebuah representasi penghancur moral. Anatominya dianggap berlumur kelam. Karena itu mudah sekali Alexis dijadikan sasaran sekaligus pengikat mengerahkan solidaritas, sebut saja sebagai idiologi kecil-kecilan. Lalu kepentingan politik mengolahnya menjadi alat membangun kepercayaan publik. Mudah ditebak!
Baik di era Ahok maupun di kepemimpinan baru Jakarta Anies-Sandi, Alexis benar-benar seperti alat istinja, pembersih kekuasaan dari berbagai persoalan moral. Seakan siapapun yang memiliki keberanian menutup Alexis naik derajat menjadi makhluk suci, pejuang moral, penyelamat masyarakat dari dekadensi moral.
Retorika Wakil Gubernur Sandiaga Uno sungguh sangat menggiurkan. Alexis katanya akan dirobah menjadi al ikhlas. Sebuah lompatan moral luar biasa karena al Ikhlas merupakan nama surat dalam Alquran yang menegaskan fondasi aqidah; standar keterikatan keyakinan utama ajaran Islam.
Secara obyektif, tak seorangpun yang berpikiran sehat menolak pemberangusan tempat-tempat seperti Alexis. Siapa saja bahkan mereka yang hilir masuk ke sana pun jika nuraninya masih ada sebutir kesadaran moral akan menyetujui. Paling tidak, ia akan merasa sebuah pintu godaan telah ditutup.
Masalahnya kenapa Alexis dijadikan hanya sekedar jadi kambing hitam. Lebih parah lagi ketika persoalan moral itu hanya dilokasir seakan persoalan Alexis semata. Lalu dikesankan dengan menyelesaikan Alexis persoalan terkait esex-esex di Jakarta selesai.
Lagi-lagi terlihat di sini betapa Alexis akhirnya tak lebih dari sekedar sebuah kamuflase untuk menutupi persoalan yang sebenarnya amat sangat jauh lebih besar. Alexis hanya dijadikan sebagai penggiringan opini bahwa semua masalah esex-esex selesai ketika soal Alexis tuntas.
Lihatlah gaya para pemimpin Jakarta baik di masa Ahok maupun di masa Anies. Bagaimana mereka sangat serius memanfaatkan kasus Alexis di satu sisi sebagai simbol penegakan moral namun di sisi lain melokalisir persoalan besar sesungguhnya sebatas Alexis. Sadar atau tidak Alexis dijadikan sekedar pemanis, etalase memerangi dekansi moral sementara yang di belakang, yang bisa jadi jauh lebih dasyat masih terus dimanfaatkan.
Lihat pula kebanggaan masyarakat para pendukung Ahok maupun Anies. Mereka sama-sama membanggakan bahwa pemimpin yang mereka dukung dengan melumerkan Alexis telah membuktikan menegakkan moral di Jakarta. “Ahok terbukti menutup Kalijodoh dan mengoreksi total Alexis,” kata pendukung Ahok. Demikian pula para pendukung Anies berteriak lantang. “Luar biasa, Anies telah membuktikan moralitasnya dengan menutup Alexis.”
Siapapun yang berpikir jernih berharap, baik Ahok dan terutama Anies –karena dukungan dari partai berlabel Islam, yang super ketat- apa yang dilakukan pada Alexis bukan menutup mata atau mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan riil. Masyarakat Jakarta sudah tentu tidak bodoh-bodoh amat untuk tidak mengetahui gunung es persoalan sejenis Alexis. Apalagi ini era media sosial ketika segala sesuatu tak mudah untuk disembunyikan.
Juga, diharapkan, masyarakat yang sebenarnya mengetahui persoalan sesungguhnya, jangan karena pemimpin yang didukungnya lalu memberikan pembenaran bahwa dengan mengatasi persoalan Alexis, semua persoalan sejenis dianggap selesai. Kejujuran melihat secara nyata persoalan adalah kunci utama penyelesaian masalah. Sebaliknya, menyederhanakan masalah atas dasar sekedar sebuah kepentingan sesaat sama saja membiarkan persoalan membesar di bawah permukaan.
Ini pilihan antara moral dan kepentingan. Dan diharapkan jangan sekedar mengatakan biarlah Alexis ditutup walau bisa membayar pajak sekitar 30 milyar. “Kita ingin pemasukan yang halal,” kata Anies. Sebuah penegasan yang sebenarnya sungguh sangat penuh retorika karena maaf, masyarakat Jakarta dan Indonesia mengetahui masih amat sangat luar biasa banyak yang sejenis 30 milyar itu, diterima Pemda Jakarta sebagai pajak. Apa iya yang haram diterima Pemda Jakarta sekedar 30 milyar dari Alexis.
Tiba-tiba muncul kerinduan pada sosok Ali Sadikin. Ia bicara terbuka, blak-blakan. Tidak sok suci. Benar-benar bicara sebagai seorang pemimpin manusiawi. Bebas dari retorika dan sekedar pencitraan. Ah…