Mahkamah Konstitusi (MK) membuat sebuah keputusan “besar“ ketika menerima gugatan penganut aliran kepercayaan terkait pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Administrasi Kependudukan. Pasal itu menyebutkan bahwa bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Dengan dipenuhinya gugatan yang diwakili Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Pagar Demanra Sirait (penganut Paralim), Arnol Purba (penganut Ugamo), Carlim (penganut Sapto Darmo) para penganut aliran kepercayaan kini dapat mencamtumkan kepercayaannya pada kolom agama di E-KTP.
Terkait keputusan MK ini baik Kementrian Agama maupun Kemendagri menyatakan akan mematuhi dan menindaklanjuti. Secara teknis Kemendagri berjanji dalam satu bulan akan menyelesaikan sistem terkait pencamtuman aliran kepercayaan pada kolom agama E-KTP.
Keputusan MK ini secara normatif memang seperti memberi solusi status aliran kepercayaan yang cukup lama menjadi persoalan di negeri ini. Namun demikian pada tataran riil perlu pula dipikirkan parameter atau kreteria sebuah aliran kepercayaan dapat terakomodir secara normatif terdaftar pada kelembagaan pemerintah. Jika organisasi saja ingin terdaftar perlu memenuhi persyaratan tertentu, aliran kepercayaanpun perlu memiliki standar baku untuk mempermudah pemerintah dalam menata administrasi maupun untuk kepentingan proses pembinaan.
Sebagaimana parameter agama, yang menentukan penganut agama sendiri, demikian pula paramater aliran kepercayaan sepenuhnya kalangan internal penganut aliran kepercayaan yang mengetahui apa dan bagaimana kreterianya. Dengan demikian, perkembangan aliran kepercayaan mudah dimonitor dan dibina oleh pemerintah.
Beberapa kalangan penganut agama seperti MUI sempat memberikan reaksi mempertanyakan terkait keputusan MK ini. Ada semacam kekhawatiran keputusan MK membuka ruang lebih lebar pengembangan aliran kepercayaan karena dapat dengan mudah seseorang atau sekelompok orang memanipulasi ajaran agama mengatasnamakan aliran kepercayaan. Kekhawatiran lainnya adalah seperti membuka peluang penganut agama meninggalkan ajaran agama berpindah ke aliran kepercayaan atas dasar kemudahan baik normatif maupun bebasnya beban keharusan menjalankan perintah ibadah agama.
Berbagai kekhawatiran itu sangat mungkin terjadi jika agama kurang mampu merespon dinamika perkembangan sosial. Rahmat Subagya dalam buku Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama misalnya memaparkan bahwa munculnya aliran kepercayaan antara lain karena agama terlalu mengutamakan aspek lahir, seperti mencari kekuasaan, show, jumlah besar, efek mercusuar, mengeraskan suara dalam bahasa asing, pergeseran ke arah formalisme dan legalisme. Kedua, keterasingan budaya karena agama-agama baru menggunakan bahasa dan budaya yang lain sama sekali. Ketiga individualisme serta terakhir kurangnya agama merespon akhlak sosial seperti praktek beragama rajin tapi tidak peduli pada perilaku merugikan banyak orang.
Jika agama menutup peluang dan meminimalkan apa yang dipaparkan Rahmat Subagya, tak perlu merebak kekhawatiran berlebihan terhadap keputusan MK. Justru di sini menjadi ujian bagi ajaran agama bagaiamana mengembangkan kehidupan keagamaan konstruktif sehingga mampu menumbuhkan peningkatan keyakinan keagamaan. Bagaimana agama mampu menjadi solusi berbagai persoalan di tengah masyarakat. Ini menjadi tantangan menarik penganut agama terutama para tokoh agama bagaimana membuktikan bahwa keberadaan agama, ikatan keagamaan mampu memberikan ketenangan, kedamaian, serta mampu menjadi solusi dalam kehidupan keseharian masyarakat negeri ini.
Jadi, tak perlu risau dengan penegasan aliran kepercayaan dalam KTP. Ini justru harus menjadi pemberi semangat meningkatkan peran agama di tengah masyarakat.