Apa yang ramai di berbagai media tentang aksi walk out (WO) Ananda Sukarlan saat Gubernur Jakarta Anies Baswedan menyampaikan sambutan di Gedung Kolese Kanisius sangat jelas masih merupakan lanjutan dari Pilkada Jakarta. Sebagaimana masih ada suasana sisa Pilpres yang belum move on ternyata Pilkada Jakarta pun meninggalkan hal serupa. Masih tersisa ketegangan dan aura kebencian.
Inilah bila proses politik dalam pemilihan pemimpin yang dikedepankan semangat kebencian dan bukan mencari yang terbaik. Luka yang menganga tak mudah pupus. Kadang masih terus berdarah memercikkan rasa sakit walau hiruk pikuk hajat politik itu sudah selesai. Selalu menyelip rasa sakit akibat kekalahan ketika proses pemilihan lebih dipenuhi kebencian.
Dan kebencian dalam proses politik makin sulit dihilangkan ketika dibungkus bernama keyakinan keagamaan. Nuansa keyakinan keagamaan seperti mengentalkan batas perbedaan pilihan. Jika batas-batas pilihan itu bermuatan kebencian dibungkus keyakinan keagamaan hampir bisa dipastikan akan sangat panjang durasinya. Bahkan bisa jadi bukan hanya dirasakan bagi yang mengalami kekalahan. Yang merasa menangpun kadang masih sering terpeleset aroma pertarungan.
Anies Baswedan dengan hadir di Gedung Kolese Kanisius sudah memperlihatkan iktikad baik sebagai pimpinan Jakarta, yang menaungi seluruh masyarakat Jakarta, tanpa kecuali. Tapi itu tadi, ternyata tak semua orang bisa bersikap move on. Sama persis bahwa sampai sekarang bertebaran hal serupa terkait Pilpres.
Pilkada Jakarta tak pelak merupakan gambaran sebuah proses politik penuh aroma kebencian. Energi yang dikerahkanpun dari mereka yang menjadi bagian dari proses Pilkada, kata orang Betawi “edan edanan.” Sangat luar biasa. Sempat bahkan memecah persaudaraan antar internal penganut agama karena perbedaan pilihan.
Apakah ini terjadi karena kandidat berbeda agama? Fakta sosial membuktikan: tidak juga. Sangat jelas, yang berbarengan dengan Pilkada Jakarta mendekati angka 100 Pilkada, di berbagai daerah. Dari berbagai Pilkada itu ternyata banyak juga para kandidat kepala daerah yang berbeda agama. Namun ternyata keriuhan pelaksanaan dan dampak pasca Pilkada tak ada satupun yang seheboh Pilkada Jakarta. Ini memberikan gambaran jelas bahwa sebenarnya bukan perbedaan agama, suku, ras dan antara golongan yang menebarkan aroma panas penuh kebencian tetapi lebih karena pilihan cara memenangkan Pilkadalah faktor utamanya. Masyarakat Jakarta pun akhirnya tetap merasakan aroma ketegangan sisa Pilkada walau semuanya sudah selesai.
Siapapun seharusnya mengembangkan sikap melupakan dan membuang jauh seberapa besarpun kebencian dari pelaksanaan Pilkada. Bukan hanya jauh dari manfaat –karena pertarungan sudah selesai dan tak akan merubah lagi hasilnya- tetapi yang perlu diperhatikan persoalan yang seharusnya dituntaskan bisa mangkrak. Lagi-lagi rakyat Jakartalah nantinya yang akan menjadi korban.
Mungkin menarik belajar dari pertandingan sepak bola liga-liga terkemua di Eropa. Yang aktual pertandingan Manchester City dan Arsenal. Walau merasa dirugikan keputusan wasit dan menyampaikan protes keras, Arsenal tidak melingkar-lingkar dalam persoalan yang sudah berlalu. Yang ditatap pertandingan mendatang.
Betapapun yang berpikir waras menyesalkan kejadian aroma panas Pilkada Jakarta, tentu juga tak ingin aroma panas itu terus berlanjut. Bagaiamanapun menyelesaikan persoalan di Jakarta tak bisa dengan amarah apalagi disertai kebencian. Siapapun perlu mengerahkan apapun pada sasaran bagaimana menyelesaikan persoalan di Jakarta. Yang terpilih mewujudkan kepemimpinan untuk seluruh masyarakat Jakarta tanpa kecuali, sementara mereka yang belum mendapat kesempatan terpilih walau masih ada sisa kekecewaan dan mungkin pula kebencian, perlu merobahnya menjadi energi kritik konstruktif.
Tentu yang paling penting menjadikan Pilkada Jakarta sebagai pembelajaran politik. Jakarta juga perlu belajar dari daerah lainnya. Bahwa berpolitik seharusnya membuang jauh mengedepankan kebencian apalagi membungkus dengan simbol agama. Kepahitan dari kebencian akan dirasakan oleh siapapun yang dibenci. Jauh lebih baik mengembangkan sikap menumbuhkan kesukaan sehingga orang memilih bukan karena benci, yang tak dipilih tetapi karena lebih suka pada yang dipilih. Lebih mudah membangun kebersamaan pasca pemilihan apapun. Begitulah.