“Semua tradisi agama pada dasarnya membawa pesan yang sama, yaitu cinta, kasih sayang dan pengampunan. Tetapi yang penting adalah mereka harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari–hari.”
Kalimat bijak yang disampaikan oleh tokoh spiritual Budha Dalai Lama itu menggambarkan satu hal: nilai kebaikan sebuah agama pada akhirnya tergantung sikap dan perilaku para penganutnya di tengah kehidupan keseharian. Agama memberi makna dan manfaat ketika mereka yang beragama mampu hadir di tengah masyarakat dengan membawa cinta, kasih sayang dan pengampunan.
Ketaatan personal kepada agama secara spiritual tergambar pada kesungguhan menjalankan ritual agamanya. Namun ukuran itu tak cukup karena pada dasarnya agama turun ke bumi untuk kepentingan manusia. Karena itu, ketika ketaatan spiritual selesai pemaknaan agama harus dilanjutkan dalam kehidupan sosial.
Tak salah bila ada penegasan bahwa sebenarnya seseorang belum beragama ketika Ia -betapa pun taat secara ritual ubudiyah- justru menjadi sebab ketaktenangan dalam kehidupan masyarakat. Ia belum beragama ketika kehadirannya di tengah masyarakat menjadi duri dalam daging.
Danah Zohar, yang terkenal dengan konsep Spiritual Quotient secara tegas mengatakan bahwa seseorang memiliki kecerdasan beragama terlihat pada kemampuannya memberi makna pada hidupnya. Dan makna hidup terindah adalah ketika seseorang memberi manfaat dan faedah pada sesama.
Kristalisasi dan ketaatan ritual dan ubudiyah yang bisa jadi sangat pribadi bukan satu hal yang dapat berpisah dengan kesalehan sosial. Justru ukuran sesungguhnya dari ketaatan ritual dan ubudiyah terletak pada perilaku seseorang dalam kehidupan sosialnya.
Dari sini tertangkap makna beragama yang sesungguhnya. Seseorang bisa disebut beragama -jika memang tidak memiliki kemampuan berbuat baik- minimal tidak merugikan orang lain. Tidak membuat tetangga terganggu; tidak mengganggu ketenangan apalagi melakukan tindak kekerasan pada orang lain.
Terasa aneh memang ketika belakangan ini merebak perilaku mengatasnamakan agama namun ternyata justru menimbulkan berbagai ketaknyamanan orang lain. Menganggap mereka yang sedikit berbeda saja dengan berbagai ungkapan menyakitkan seperti bid’ah, sesat, kafir dan lainnya. Ini baru di internal umat beragama. Apalagi ketika berhadapan pemeluk agama lain. Bahasa yang terekspresikan makin membentangkan jarak hubungan kemanusiaan.
Yang jauh lebih mengerikan ketika atas nama agama kemudian memunculkan berbagai kengerian melalui cara-cara teror dan sejenisnya. Perbedaan antar internalpun begitu mudah menimbulkan tindakan berdarah-darah sebagaimana ISIS di Timur Tengah. Agama akhirnya belakangan ini karena berbagai tindakan kekerasan berdarah memunculkan kekecewaan dan antipati. Hasil penelitian Gallup, lembaga survei internasional mengungkapkan bahwa di dunia Arab saat ini persentase atheis sekitar 17 persen. Di Arab Saudi sendiri yang merupakan tempat kelahiran Islam diperkirakan ada 5 persen penduduk mengaku atheis atau menentang ide-ide ketuhanan.
Di sinilah terasa nilai penting apa yang diingatkan Dalai Lama yaitu bagaimana memaknai agama secara baik. Pragmatisme masyarakat perlu dicermati termasuk dalam menganut agama. Seperti dalam memandang kehidupan lainnya, masyarakat era sekarang dalam beragamapun akan bersikap pragmatis: beragama bila memang memberikan kemanfaatan personal maupun sosial.
Ketika Dalai Lama yang beragama Budha itu ditanya, apa agama terbaik; jawaban yang terucap bukan nama agama yang dianutnya. “Agama terbaik membuat penganutnya makin dekat kepada Tuhan dan membuat dia menjadi lebih baik dalam kehidupan keseharian,” katanya.
Semua orang suci di dunia ini, selalu menyampaikan pesan sama bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat pada sesama.