“Selama hidup saya, saya telah mendedikasikan diri saya berjuang untuk rakyat Afrika. Saya telah berjuang melawan dominasi kulit putih, dan saya telah berjuang melawan dominasi kulit hitam. Saya menghargai demokrasi yang ideal dan masyarakat yang bebas, di mana semua orang hidup bersama dalam harmoni dan kesempatan yang sama. Ini adalah hal ideal yang saya siapkan untuk mati.”
Kalimat heroik itu diucapkan penjuang apartheid di Afrika Nelson Mandela yang wafat 5 Desember lalu. Dunia mengetahui rangkaian kata itu bukan sebatas retorika. Dunia mengakui kedasyaratan perjuangan tokoh yang pernah mendekam penjara sekitar 27 tahun itu. Dunia juga mencatat betapa perjuangan menghapuskan sistem apartheid sangat tidak mudah dan memerlukan waktu panjang. Bahkan ketika secara formal perjuangan sudah mencapai hasil, Nelson yang kelahiran Mvezo,Afrika Selatan, 18 Juli 1918 masih harus berjuang menghadapi situasi berat ketika aroma egoisme dan “potensi dendam” kalangan kulit hitam mengeliat bangkit.
Kalimat “…dan saya telah berjuang melawan dominasi kulit hitam” dari pernyataan Mandela itu menggambarkan betapa berakhirnya rezim apartheid tidak sertamerta semua persoalan diskriminasi warna kulit selesai. Tugas Mandela justru bertambah berat ketika harus berhadapan dengan kaum kulit hitam yang diperjuangan pembebasannya. Tumbangnya rezim kulit putih ternyata memunculkan persoalan baru yang tak kalah kompleks ketika kemenangan kalangan kuit hitam justru tergoda melakukan kesalaham sama membangun dominasi atas dasar warna kulit.
Posisi Mandela pasca tumbangnya rezim apartheid memang tidak mudah, karena di sana ada euforia luar biasa. Sebuah semangat yang dibumbui kepahitan panjang sepak terjang rezim kulit putih sehingga seakan menjadi sah bila kalangan kulit hitam “membalas dendam.” Namun Mandela tak tergoda; tetap berdiri pada sikapnya. Pengalaman pahit pribadi Mandela dalam penjara reziim apartheid tidak menghancurkan kometmen visi dan misi perjuangannya. Ia tidak mengedepankan dan menjadikan penderitaan dirinya selama dipenjara sebagai amunisi pembenaran pada dominasi kaum kulit hitam, kaumnya. Mandela tidak larut dalam ego kepenting dirinya.
Mandela sepanjang hidupnya tetap pada kometmen dan konsisten bahwa perjuangan dirinya bukan atas dasar kepentingan kulit hitam. Yang diperjuangkan, yang menghadapkan dirinya pada penderitaan berat dan panjang, merupakan perjuangan kemanusiaan tertinggi tentang apa itu kemerdekaan, kesamaan, kesetaraan sesama manusia tanpa memandang batas-batas perbedaan kulit, suku, agama dan lainnya.
Semangat seperti itulah yang menempatkan Mandela menjadi salah satu sosok sangat spesial di permukaan bumi ini. Ia setelah menumbangkan rezim kulit putih, tidak terjebak pada sikap membalas dendam. Ia bahkan justru secara tak langsung kemudian menempatkan diri pada posisi “menghadapi” kaum yang diperjuangkannya.
Mandela tetap konsisten melanjutkan perjuangan dengan berupaya keras mewujudkan demokrasi dan masyarakat bebas yang hidup bersama dalam harmoni dan kesempatan sama. Ia tidak berdiri dalam sikap hitam putih atas dasar kepentingan sempit untuk kaumnya, kalangan kulit hitam. Yang diperjuangkan jauh lebih luas dari sekedar pembebasan warga kulit hitam.
Alangkah indah jika para politisi mampu menangkap semangat perjuangan Nelson Mandela. Ada jiwa kenegarawanan yang luar biasa, yang tidak dibatasi kepentingan sempit. Mereka yang mendapat kepercayaan bersungguh-sungguh melaksanakan amanah rakyat, yang kebetulan belum mendapat kesempatan memberikan dukungan obyektif; bukan justru mengganggu. Kepentingan kesejahteraan rakyatlah yang utama. Semua energi para politisi yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan hanya diarahkan berusaha memenuhi kepentingan rakyat.