Sebuah berita mengejutkan sempat beredar di beberapa media online maupun media sosial. Bahwa karena defisit sekitar 9 trilyun pertahun BPJS tidak akan menanggung biaya 8 penyakit katastropik seperti jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalasemei, leukimia dan hemofilia.
Sekalipun berita itu belakangan dibantah dan disebut hoax namun persoalan seputar pelaksanaan dan pengelolaan BPJS memang perlu mendapat perhatian serius. Sampai saat ini misalnya, persoalan pelayanan pasien BPJS belum optimal. Jauh lebih banyak keluhan ketimbang testimoni kepuasaan. Yang paling sering terjadi adalah rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS kehabisan kamar, pasien terlunta-lunta serta kadang mekanisme pelayanan rumah sakit kurang tertata baik. Kadang pasien harus “bertarung” keras mendapatkan pelayanan dengan harus antri atau menunggu berjam-jam. Padahal sebenarnya bisa disiasati lewat penataan kepastian waktu dan lainnya.
Perlu misalnya ditata sistem agar tidak timbul prasangka masyarakat, seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS memajang jumlah kamar dan yang sudah terisi secara terbuka melalui layar televisi. Ini mencegah permainan sekaligus dapat meyakinkan masyarakat keadaan sebenarnya. Di era keterbukaan seperti sekarang bukan waktunya membiarkan segala sesuatu yang menimbulkan ketakpastian dan kecurigaan masyarakat.
Yang juga menarik, dalam proses membayar iuran saja kadang jauh dari kemudahan. Misalnya, beberapa bank yang melayani pembayaran melalui ATM kadang harus berulang-ulang baru bisa terbayar. Bisa dibayangkan jika untuk membayar saja mengalami kesulitan apalagi yang lainnya. Jauh sekali dibanding membayar tagihan listrik, telpon, membeli tiket pesawat, kereta misalnya.
Soal transparansi pengelolaan keuangan, yang dikritisi anggota DPR, memang perlu pula disampaikan kepada masyarakat agar kesungguhan membayar meningkat. Termasuk misalnya, berapa biaya berobat jika anggota BPJS sakit. Masyarakat akan makin bersungguh-sungguh membayar ketika mengetahui besarnya biaya berobat dan merasakan manfaat dari keberadaan BPJS.
Terkait informasi yang sempat beredar bahwa BPJS tak akan membiayai 8 penyakit, walau belakangan dibantah, agaknya perlu dikaji lebih serius. Bagaimana misalnya diupayakan mengurangi merebaknya penyakit yang faktor penyebabnya sangat jelas.
Penyakit jantung, stroke beberapa data menyebutkan faktor paling dominan karena rokok. Fakta dan data di lapangan pemerintah dalam mengurangi konsumsi rokok ini masih terlihat kecenderungan sikap setengah hati. Upaya mengurangi kebiasaan merokok masyarakat belum sepenuhnya berjalan efektif. Padahal kajian-kajian membuktikan bahwa pemasukan cukai rokok ternyata tak sebanding dengan pembiayaan recovery kesehatan dan dampak buruk lainnya. Jangan lupa peredaran narkoba yang saat ini sudah mendekati angka 6 juta pintu pertamanya adalah merokok.
Pemberlakuan pasien jantung disebabkan merokok tidak dapat dibiayai BPJS mungkin perlu dikampanyekan. Atau, ada persyaratan tidak merokok untuk penyakit yang tergolong katastropik untuk dapat dibiayai BPJS.
Yang tak kalah penting perlunya kampanye makanan sehat di tengah masyarakat. Di beberapa daerah mudah ditemui makanan jauh dari sehat yang dinikmati masyarakat seperti jeroan, otak dan lainnya. Mungkin sulit melarang kebiasaan masyarakat secara total karena menikmati soto, empal gentong dari jeroan sudah menjadi kebiasaan. Namun tetap perlu ada kampanye, sosialisasi bagaiamana membiasakan masyarakat agar menikmati makanan sehat.
Kampanye olahraga atau membiasakan tubuh bergerak yang bermuatan olahraga perlu pula dikampanyekan. Ini penting karena masyarakat negeri ini tergolong bergerak. Untuk perjalanan hanya sekitar 500 meter saja, naik sepeda motor. Masih bagus jika naik sepeda. Tidak aneh kalau belakangan terungkap bahwa masyarakat Indonesia ternyata sangat malas berjalan kaki, termasuk menggunakan jembatan penyeberangan; olahraga sederhana yang sebenarnya sangat menyehatkan.
Persoalan yang melingkar-lingkar di sekitar BPJS memang sangat kompleks. Perlu kesungguhan seluruh komponen terkait, termasuk pula mendorong partisipasi masyarakat agar hidup sehat. Berupaya hidup sehat memang perlu kesungguhan dan ketekunan serta kesabaran. Begitulah. (*)