Romantisme bisa membangkitkan semangat tapi bisa juga menyesatkan. Kadang romantisme berlebihan membuat lupa realitas kekinian. Asyik mengukur perbuatan hari ini seakan berperilaku seperti di masa lampau. Padahal waktu telah bergulir, sikap dan perilaku telah berubah; tanpa kecuali. Paradigma berpikir bahkan kadang mulai bertolak belakang.
Guru pahlawan tanpa jasa, dokter pejuang kemanusiaan adalah ungkapan indah yang masih sering terdengar. Terasa romantisme masa lalu yang sebenarnya sudah tak utuh lagi bahkan bergeser sangat jauh; paling tidak sudah mengalami perubahan.
Di masa lalu, guru memang profesi penuh pengabdian yang nestapa, nelangsa jauh dari hiruk pikuk. Sempat pula profesi guru karena semangat pengabdian luar biasa begitu terhormat. Namun dalam perjalanan waktu, sejalan perubahan pola pikir profesi guru pernah jauh dari kesan menarik hingga beberapa perguruan tinggi yang secara khusus mendidik calon guru, gulung tikar karena peminatnya minim. Ya, karena profesi guru dianggap kurang memberikan prospek ekonomi.
Tapi kini profesi guru sangat menjanjikan, terutama yang berstatus PNS. Apalagi yang sudah mendapat sertifikasi dan bekerja di daerah yang PAD-nya tinggi; penghasilan mereka jauh melampaui UMR. Di sini, romantisme bisa menyesatkan.
Memang, tak semua kecipratan berkah. Masih banyak guru yang nasibnya sampai sekarang nelangsa. Mereka adalah guru swasta, guru non PNS, guru di daerah terpencil, guru madrasah, guru pesantren yang penghasilan mereka, mendengar angkanya saja membuat siapa pun yang memiliki nurani akan menangis.
Kelompok terakhir ini masih pantas mendapat gelar pahlawan tanpa jasa. Itupun tetap dalam bingkai tanda tanya. Karena -lagi-lagi- pola paradigma berpikir sudah jauh berubah. Bukan pengabdian yang lebih mengemuka tetapi lebih karena desakan sekadar mencari nafkah.
Dokter? Profesi ini paling kontradiktif. Mendapat predikat mulia sebagai pejuang kemanusiaan namun lingkaran perjalanan mereka tak pernah lepas dari uang. Dari sejak akan masuk Fakultas Kedokteran sudah berurusan uang. Walau calon mahasiswa cerdas tetap perlu menyiapkan dana ratusan juta. Apalagi jika otaknya biasa-biasa saja. Ironisnya, biaya pendidikan dokter mahal selangit tak hanya di PT swasta; di PTN pun untuk diterima sebagai mahasiswa kedokteran harus menyiapkan dana ratusan juta rupiah. Angka masuk kedokteran itu, belum dihitung biaya kuliah persemester yang untuk PT swasta bisa 20 jutaan per semester.
Lalu, salahkah kalau kemudian dokter saat praktek berpikir ingin balik modal? Sulit menjawabnya. Namun di sini tergambar jelas bahwa sistem di negara ini, membiarkan profesi yang terkait nilai kemanusiaan berubah berjiwa kapitalistik. Sistem di negeri ini telah merombak dokter dipaksa harus berpikir tentang uang dan uang. Celakanya uang itu mudah melelapkan hingga ketika sudah balik modal pun, karena keasyikan terus saja menumpuk pundi-pundinya.
Tak mungkin di sini menyalahkan dokter yang ingin balik modal, yang bisa jadi uang untuk membiayai pendidikannya berasal dari pinjaman bank. Namun dokter juga harus jujur bahwa dalam keseharian mereka berada dalam praktek transaksi; bukan lagi sebagai pengabdi kemanusiaan. Dokter bukan lagi menangani atau membantu pasien, tapi mengerjakan pasien. Apa yang dilakukan dokter sudah profesional. Ia bekerja dan meminta bayaran mahal, yang kadang tak peduli kondisi ekonomi pasien.
Belakangan memang ada perkembangan menarik. Pemerintah agaknya mulai menyadari perlunya dihindari rentetan penuh rupiah itu karena dampaknya saat dokter berpraktek cukup mengkhawatirkan. Beberapa perguruan tinggi negeri menurunkan secara drastis biaya kuliah. Bahkan ada yang menggratiskan uang kuliah. Namun tetap romantisme perlu dipertimbangkan karena sangat tidak mudah melepaskan bayangan cost tinggi. Apalagi ketika pola pikirpun mulai pragmatis dibumbui impian hedonis.
Jadi tak usahlah hidup dalam romantisme masa lalu. Berpikir dan bersikaplah atas dasar kekinian; bersikap profesional. Tentu profesionalisme apa pun, harus tunduk pada ketentuan hukum sebagai perlindungan kepada semua pihak. Dokter, guru dan profesi apa pun mendapatkan hak dan harus menjalankan kewajibannya. Jika melanggar, tentu saja siapapun tak kebal hukum. Terinspirasi kata-kata mantan juru bicara KPK Johan Budi; hukum bukan berstandar kesederhanaan, kesantunan, romantisme, kemanusian, kepahlawan tapi bukti awal. Jika bukti awal ada, proses hukum bisa berlanjut kepada siapa pun. Ini artinya apa pun boleh berubah tapi jangan pernah mengutak-atik ketaatan moral, kejujuran dan sikap profesional jika tak ingin bermasalah baik di dunia maupun kelak di akhirat.