SUMENEP, koranmadura.com – Konflik berkepanjangan pengelolaan Asta Tinggi dan tanah percaton di Desa Kebunagung, Kecamatan Kota, antara Yayasan Penambahan Somala (YPS) dan Yayasan Penjaga Asta Tinggi (Yapasti), membuat penggarap lahan sengketa itu kebingungan. Salah satunya dirasakan oleh Yarto, warga Desa Gung-gung, Kecamatan Batuan, Sumenep, Madura, Jawa Timur.
“Saya selaku penggarap merasa kebingungan, utamanya terkait pembayaran sewa lahan. Kami harus membayar kepada siapa,” keluhnya.
Yarto mengatakan sebelum ada polemik, sewa lahan diberikan kepada pihak YPS. Sewa itu diberikan setiap akhir panen raya. “Tanah yang dikelola saya hanya sekitar 1 hektare. Kalau uang sewa biasanya Rp 1 juta lebih setiap akhir panen. Dalam setahun saya rata-rata dua kali bercocok tanam. Uang sewa diberikan kepada yayasan (YPS),” jelasnya.
Perwakilan Kepala Desa Gung-gung, Hairudin mengatakan penggarap tidak usah ikut campur persoalan tersebut. Menurutnya, pihak desa memutuskan penggarap lahan tetap bercocok tanam sebagaimana biasa.
“Penggarap silakan garap lahannya masing-masing. Kalau nanti pas panen belum selesai (polemik antara ahli waris dan YPS), maka hasilnya ditaruh di desa dulu,” katanya.
Hairudin beralasan, apabila penggarap memberikan sewa lahan kepada salah satu pihak yang bersengketa sebelum incrah, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. “Nanti akan tengkar lagi,” jelasnya.
Lebih lanjut Hairuddin mengingatkan bahwa masalah tersebut sangat berdampak kepada sektor perekonomian masyarakat Gung-gung. “Yang terdampak masyarakat. Harus segera disesaikan,” tegasnya.
Sekadar mengingatkan, ahli waris penjaga Asta Tinggi R Abd Syakur (alm) mengklaim tanah sebanyak 12 obyek yang telah bersertifikat hak pakai sebanyak 165 itu bukan tanah percaton, melainkan tanah waris. Itu berdasarkan data yang dimilikinya berupa leter C, peta desa, buku induk pajak bumi dan bangunan (PBB) serta surat pernyataan dari ahli waris, tidak satu pun menerangkan tanah yang disertifikat sejak 2009 itu tertulis tanah percaton atau tanah negara.
Sementara pihak YPS mengklaim penyertifikatan itu karena tanah dimaksud merupakan tanah percaton yang dikelola oleh penjaga asta. Sementara munculnya liter C sebagai langkah untuk mempermudah pembayaran pajak setiap tahun. Sedangkan penyertifikatan sebagai bentuk penyelamatan aset asta agar tidak dijual oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Untuk mempertemukan kedua belah pihak, Aparatur Desa Gung-gung mencoba memediasi di Kantor Balai Desa. Namun, proses mediasi tidak membuahkan hasil lantaran kedua belah pihak sama-sama ngotot mempunyai hak untuk mengelola. (JUNAIDI/RAH)