Mengatasnamakan umat Islam Indonesia, kelompok atau organisasi apapun di negeri ini hampir tidak mungkin. Organisasi sebesar Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah pun tak pernah mengklaim mewakili atau mengatasnamakan umat Islam Indonesia. Bahkan jika dua organisasi terbesar di negeri ini duduk bersama juga belum pernah mengklaim sebagai atas nama umat Islam Indonesia. Padahal seperti ditegaskan oleh almarhum KH. Hasyim Muzadi, masalah apapun di negeri ini jika NU dan Muhammadiyah bersama-sama insya Allah akan tuntas dan terselesaikan.
Mengapa NU maupun Muhammadiyah belum pernah mengatasnamakan umat Islam Indonesia? Sangat sederhana. Keanekaragaman keterikatan keagamaan di negeri ini sangat terasa. Di luar NU dan Muhammadiyah saja masih ada Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Persatuan Islam, Al Wasliyah, Al Irsyad, Mathlaul Anwar dan masih banyak lagi. Ini belum lagi komunitas-komunitas kecil bersifat kedaerahan yang jumlahnya juga relatif banyak. Di luar organisasi dan komunitas kecil masih ada lagi kelompok-kelompok keagamaan yang bernuansa lebih khas lagi yang dibatasi bangunan bernama masjid dan mushallah.
Kongres Umat Islam yang pernah dilaksanakan Majelis Ulama Indonesia sekalipun hampir dihadiri seluruh ormas Islam belum berhasil merumuskan sesuatu yang bisa menegaskan sebagai satu-satunya yang berhak mewakili umat Islam Indonesia. Ini makin menegaskan betapa muskil sebuah organisasi dan komunitas masyarakat mengatasnamakan umat Islam Indonesia. Jika MUI, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah saja, belum sepenuhnya merepresentasikan keseluruhan umat Islam Indonesia apalagi jika sekedar klaim sekelompok kecil masyarakat.
Ini kekhasan realitas umat Islam Indonesia. Penuh warna warni, nuansa keterikatan keagamaan relatif beragam walau sebatas kekhasan furu’iyah dan terasa ada pengaruh kedaerahan. Gambaran keindahan umat Islam Indonesia, dalam merespon dinamika sosial yang berkembang di negeri ini.
Jika keanekaragaman keterikatan keagamaan penuh nuansa –walau sebatas furu’iyah- apalagi ketika kemudian umat Islam Indonesia bersikap dalam pilihan-pilihan politik maupun aktivitas sosial lainnya. Keanekaragaman itu akan makin terasa.
Ada umat Islam yang berada di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), di Golkar, PPP, PKB, Gerindra, PAN dan partai-partai lainnya. Di partai-partai itu menegaskan ekspresi perbedaan sikap politik umat Islam Indonesia. Lagi-lagi menggambarkan tentang betapa tidak mudah dan bahkan hampir mustahil mengatasnamakan umat Islam Indonesia.
Karena itu bisa dipahami ketika Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH. Robikin Emhas diminta tanggapannya terkait pengangkatan Rizieq Shibab sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia berdasarkan konggres 212, menegaskan bahwa tidak merepresentasikan Umat Islam di Indonesia. “Kalau untuk imam, ya cukup imam di jemaahnya saja. Mereka hanya sebagian kecil di antara umat Islam yang ada sehingga tak perlu ada klaim dengan menisbatkan seseorang sebagai Iman” katanya.
Logika KH. Robikin Emhas sangat mudah dipahami. Sebagai petinggi Nahdatul Ulama mengetahui betul organisasinya saja, yang memiliki anggota terbesar di negeri ini tak pernah mengatasnamakan umat Islam Indonesia. Demikian pula organisasi Muhammadiyah.
Di sinilah penting memahami peta sosial keterikatan umat Islam Indonesia. Keterikatan keislaman Indonesia sangat khas, jauh dari klaim-klaim berlatar belakang pengerasan sikap kelompok. Secara kultural, sejalan warna warni budaya Indonesia, keterikatan keagamaanpun ada nuansa Indonesia walau sebatas wilayah furu’iyah. Yang memiliki kesamaan pada subtansi ajaran Islam serta semangat pengabdian sosial mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Siapapun dia, di manapun berkiprah, baik dalam organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam mewarnai perjalanan negeri ini sehingga tumbuh berkembang menjadi lebih baik. Bukan klaim-klaim kepemimpinan yang dikedepankan. Apalagi bila hanya sekedar mendapat dukungan demi kepentingan politik. Berkiprah dan beramal untuk rakyat Indonesia jauh lebih baik ketimbang sibuk menisbatkan diri sebagai pemimpin umat Islam Indonesia. (*)