SEMENEP, koranmadura.com – Festival batik yang dimaksudkan untuk mendukung Program Visit Sumenep 2018 yang digelar Sabtu, 9 Desember 2017, justru menuai kecaman dari berbagai pihak. Mereka menilai Festival yang digelar Pemkab Sumenep melalui Dinas PU Binamarga itu justru mencoreng nama baik Sumenep karena hanya jadi ajang pamer aurat.
Syaf Anton WR, salah seorang pegiat seni di kota setempat menulis status terbuka di laman facebooknya dengan judul “Sumenep akan Jadi Kota Paha?”. Ia mengaku sangat menyesal melihat sebagian peserta mengenakan busana batik dengan model yang memungkinkan para penonton melihat bagian-bagian tubuh sensual mereka.
Salah seorang peserta dengan nomor 84 dengan sangat berani memakai kostum yang terbuka di bagian perut sehingga tampak jelas pusarnya. Peserta lain memakai gaun panjang hingga tumit namun dibelah hingga mendekati pangkal pahanya.
Miris, Festival Batik Sumenep Melampaui Batas Etika Kedaerahan
“Batik Sumenep merupakan peninggalan karya sejarah masa lalu yang patut dipertahankan. Namun untuk memperkenalkan kembali perlu pertimbangan secara matang. Ada nilai yang harus menjadi tolok ukur, yakni berbusana dengan etika kesumenepan,” tulis Syaf Anton.
Menurutnya, Sumenep adalah kota budaya yang memiliki banyak nilai kearifan lokal. Selain itu, Sumenep adalah kota dimana banyak pesantren berdiri. Oleh karenanya, ia menilai tontonan dengan menunjukkan aurat sangat tidak elok digelar di Sumenep.
“Di jantung kota, jelas di mata publik berdiri tegak simbol keislaman yakni, masjid Jamik dan masjid laju. Nilai-nilai ini diperkuat posisi orang nomer satu, yang tidak lepas dari status kiai, maka pertimbangan kelayakan dan kepantasan pasti telah dikuasai,” lanjutnya.
Sementara Ketua Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Sumenep KH Husnan Nafi’ menyatakan penanggungjawab jawab acara Festival Batik sangat tidak sensitif dengan budaya dan karakteristik lokal masyarakat Sumenep yang mayoritas muslim, santri, kiai, dan pengasuh pondok pesantren. Terbukti dalam festival batik yang ditampilkan adalah busana terbuka dan mengumbar aurat di depan khalayak.
“Walaupun secara teknis kegiatannya diserahkan kepada EO (event organizer), tapi quality controlnya harus tetap di bawah kendali penjab,” ucapnya.
Menurutnya, hal itu terjadi karena Visit Sumenep 2018 betul-betul tidak dipersiapkan secara matang dan komprehensif dari berbagai sudut, baik sosial budaya, agama, ekonomi, dan lainnya.
Oleh karenanya, lanjut Husnan Nafi’, PC ISNU SUMENEP mendesak Bapak Bupati Sumenep memberikan teguran keras kepada Dinas PU Bina Marga atas keteledoran ini. Selain itu, sekiranya belum matang, Visit Sumenep sebaiknya ditunda sampai semuanya siap.
A. Faidlal Rahman, pengamat pariwisata juga mengaku sangat prihatin dengan Festifal Batik di Sumenep. Ia meminta agar tidak ada satupun pihak yang menggunakan payung patiwasata untuk mengkampanyekan hal-hal seronok. “Sebab pada dasarnya pariwisata itu harus adaptif dan akomodatif terhadap nilai dan kebudayaan yang dianut masyarakat lokal. Jangan justru menerabas norma yang ada,” ujarnya.
Menurutnya, penyelenggara seharusnya mengangkat apa yang dimiliki oleh daerah dengan modifikasi dan inovasi, namun tetap dalam koridor nilai dan norma yang ada. “Kalau seperti ini kan namanya mengimpor budaya luar untuk meracuni cita-cita yang sebenarnya mulia. Jadi marilah kita buat even yang elegan namun tetap dengan etika dan tata krama kemaduraan yang baik,” pungkasnya. (BETH/RAH)