Bali identik dengan Hindu, semua orang negeri ini bahkan dari manca negara, mengetahui. Tetapi Bali tak hanya Hindu, masih belum banyak mengetahui. Bahwa ada perkampungan masyarakat Bali dengan nama khas dan dikenal sebagai penduduk asli Bali, yang beragama Islam. Desa Pegayaman, namanya; berada di Kabupaten Buleleng. Ada lagi, Kampung Gelgel, di Klungkung.
Sekalipun terselip diantara mayoritas umat Hindu Bali, umat Islam yang terdiri dari sekitar 100 kepala keluarga itu hidup damai. Praktis tak pernah terdengar sebut saja, semacam konflik dengan masyarakat Hindu. Relasi umat Hindu dan umat Islam di Bali memang tergolong spesial.
Sebuah pengalaman menarik pernah dialami penulis. Sekali waktu, ketika bertugas sebagai khotib di sebuah Masjid Kampus, di Jakarta, Ketua DKM yang duduk berjejer mengajak mengobrol. Tiba-tiba ia nyeletuk, “Apakah bapak tidak merasa familiar dengan wajah saya,” katanya.
Ada rasa kaget. Ingin menjawab tidak mengenal khawatir beliau tersinggung. “Kayaknya, selintas pernah melihat wajah seperti bapak,” mencoba berbasa basi, sambil terus berusaha mengingat-ingat. “Tahu Gubernur Bali?” tanyanya lagi. Alamak, baru disadari. Wajah sang Ketua DKM ini memang mirip Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. “Saya adik Gubernur Bali,” katanya, penuh kebanggaan.
Biasa saja sih soal hubungan genetis Ketua DKM itu. Yang menarik dan tak biasa justru cerita keindahan hubungan keluarga mereka, yang mayoritas Hindu dengan keluarga sang Ketua DKM yang beragama Islam. Beliau juga menceritakan dalam skala besar hubungan antara masyarakat Hindu dan Islam di Bali. Semuanya sangat menyenangkan, katanya.
Jika cerita itu disampaikan pada seseorang yang kurang mengenal Bali, mungkin akan bertanya-tanya, apa iya. Tapi tidak dengan penulis, yang pernah berada di Bali sekitar setengah tahun. Apa yang diceritakan Sang Ketua DKM itu hampir sepenuhnya benar. Betapa harmonisnya hubungan umat Hindu dengan umat Islam di Pulau Dewata itu.
Ada pengakuan menarik dari kalangan masyarakat Hindu, Bali. Mereka merasa paling dekat dan hampir tak memiliki jarak dengan umat Islam. Alasannya pun faktual. Mereka menganggap umat Islam tak pernah memaksa atau melakukan bujuk rayu pada umat Hindu untuk pindah ke agama Islam. Mereka justru menyampaikan semacam kekesalan pada umat lain, yang kadang menggunakan berbagai cara agar umat Hindu pindah agama seperti memberi mie, beras, membiayai sekolah, termasuk dengan cara menikahi umat Hindu. Jadi umat Islamlah, yang paling dekat dengan umat Hindu, di Bali.
Hubungan itu berlanjut terus sampai kemudian muncul kejadian peledakan Bom I dan Bom II Bali. Hubungan umat Hindu dengan umat Islam sempat meregang. Perlu waktu panjang untuk sampai pada situasi semula dengan memberikan pemahaman bahwa kekerasan yang terjadi bukanlah representasi umat Islam. Belakangan hubungan itu walau belum sepenuhnya pulih sudah mendekati kebersamaan seperti sebelum tindak kekerasan mengerikan itu.
Dengan keharmonisan yang luar biasa itu terasa aneh ketika belum lama ini muncul insiden demo penolakan pada Ustad Abdul Somad. Terasa aneh, masyarakat Bali yang dikenal begitu toleran dan sangat “sayang” pada umat Islam tiba-tiba menolak kehadiran Ustad Abdul Somad. Sebelumnya Arifin Ilham, Aa Gym, Yusuf Mansyur, Mamah Dedeh datang ke Bali tak ada masalah. Ada apa?
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali sebagaimana dikutip beberapa media menyebutkan nama Arya Wedakarma, anggota DPD asal Bali. Ia dituding sebagai dalang dibalik aksi penolakan. Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana seperti diakuinya telah mengingatkan Arya agar tidak memprovokasi dan merusak keharmonisan masyarakat di Bali antara ummat Hindu dan Islam.
I Gusti mengaku sudah sering berkomunikasi dengan Arya supaya sebagai bangsa Indonesia tidak membuat salah paham. “Selama orang luar Bali tidak mengganggu, jangan mengganggu mereka,” tegas I Gusti Ngurah Sudiana.
Ungkapan Ketua PHDI memang hanya selintas saja. Namun mudah ditebak, lagi-lagi kekisruhan terjadi ketika agama ditarik ke wilayah politik. Ini sekali lagi mempertegas betapa menggunakan agama sebagai alat kepentingan politik, mudah sekali memancing keributan. Kasus Pilkada Jakarta, seharusnya menjadi pelajaran berharga agar jangan mengulang memanipulasi agama untuk kepentingan politik. Luka yang tergores sangat lama proses penyembuhannya. Bukan hanya antar agama, di internal agamapun ketegangan tak mudah dihilangkan.
Jakarta dan sekali lagi Bali telah memberikan pelajaran berharga. Begitulah. (*)