Persoalan jumlah berkumpulnya massa kembali jadi viral di media sosial pasca acara reuni 212. Kali ini menyangkut berapa sebenarnya jumlah yang hadir. Klaim panitia massa yang hadir berjumlah jutaan. Tak dipastikan angkanya, seperti pelaksanaan aksi bela Islam 212 setahun lalu, yang diklaim mencapai 7,5 juta yang hadir.
Seorang pengajar dan peneliti Universtas Negeri Padjadjaran Dr. Muradi mencoba menghitung berdasarkan estimasi luas tempat kosong di Monas. Hasilnya, agak jauh berbeda. Hanya sekitar 35-40 ribu massa yang diperkirakan hadir di Monas. Sebuah angka amat sangat jauh berbeda dengan klaim panitia sehingga perdebatan dan saling bantah jumlahpun, tak terhindarkan.
Masalahnya, begitu pentingkah perbincangan jumlah kehadiran massa sehingga menjadi fokus perhatian luar biasa. Adakah pengaruh kehadiran massa berbanding lurus penyelesaian berbagai masalah umat Islam di negeri ini.
Jika kehadiran dikaitkan tiket sebuah pertunjukan sepak bola dan lainnya tentu masih ada relevansinya perhitungan jumlah kehadiran penonton. Sangat jelas terkait pemasukan rupiah bagi panitia atau tingkat kualitas dan popularitas pertunjukan. Seorang penyanyi misalnya, memiliki kepentingan mengetahui jumlah kehadiran penonton, seperti juga panitia.
Bagi umat Islam Indonesia adakah nilai strategis kehadiran massa dalam berbagai event sejenis reuni 212? Apa nilai penting membanggakan jumlah kehadiran massa dalam aktivitas yang secara riil sebenarnya tak memberikan pengaruh signifikan pada penyelesaian persoalan keumatan di negeri ini.
Jika terkait perolehan suara partai politik dalam pemilu, masih terasa ada kaitannya. PDI Perjuangan misalnya, pada kampanye Pemilu 1999 mampu memerahkan Jakarta. Dan hasilnya, PDI Perjuangan tampil sebagai partai pemenang. Demikian pula pada tahun 1982 ketika Jakarta berwarna hijau oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ada persambungannya ketika suara PPP di Jakarta mengalami peningkatan signifikan.
Rasanya umat Islam negeri ini perlu mengingat sabda Rasulullah bahwa pada suatu waktu jumlah umat Islam sangat luar biasa. Namun, jumlah besar itu seperti buih, tak memiliki nilai dan justru minoritas perannya dalam membawa perubahan di tengah masyarakat.
Apa artinya jumlah kerumuman massa dalam jumlah besar jika ternyata hanya sekedar sebatas seremoni sosial. Jumlah mayoritas besarpun, yang tak terkait kerumuman massa seperti jumlah penduduk dalam sebuah negara, kurang berarti tanpa peran besar. Yahudi itu minoritas tapi dunia mengetahui peran besarnya dalam menentukan perjalanan Amerika Serikat. Kekuatan loby Yahudi sangat dahsyat sehingga tidak seorang Presiden Amerika Serikat yang bisa mengabaikan keberadaannya.
Bagaimana dengan umat Islam di negeri ini? Siapapun mengetahui bahwa umat Islam itu mayoritas dalam jumlah tapi minoritas dalam peran. Praktis tak ada sektor apapun di negeri ini yang memperlihatkan peran umat Islam dominan. Dalam segala hal umat Islam tertinggal di negeri ini. Ironisnya, yang sering terdengar lebih banyak menyalahkan kelompok lain dan bukan melakukan pembenahan internal.
Kebanggaan dan keasyikan bermain-main di wilayah seremonial seperti membanggakan jumlah, sibuk mengumpulkan massa masih saja menjadi kebiasaan umat Islam negeri ini. Kemampuan menenejerial penyelesaian prioritas persoalan keumatan sangat lemah sehingga mudah jadi korban permain isu dari kekuatan lain. Contoh sederhana betapa mudah Umat Islam menelan isu bahaya komunis sementara persoalan riil seperti bahaya narkoba yang sudah menghancurkan hampir 6 juta rakyat negeri ini terabaikan.
Mewaspadai komunis sebagai idiologi yang tak pernah mati memang menjadi keharusan. Namun jangan sampai menari dalam irama gendang permainan kepentingan kekuatan politik yang menjadikan komunis sebagai komoditas politik sehingga melupakan persoalan riil yang terbentang di depan mata.
Saatnya berhenti berbangga dengan jumlah. Jauh lebih baik menekuni langkah riil seperti pembentukan 212 mart, koperasi 212. Itu langsung menyentuh persoalan keumatan. (*)