Setiap datang hari Natal, umat Islam di negeri ini seperti heboh dan antusias luar biasa. Begitu hebohnya hingga terkesan umat Islam seakan ikut meramaikan dan memeriahkan Natalan. Media sosial dipenuhi perbincangan dan perdebatan Natal dari kalangan umat Islam.
Yang pertama terlihat dari berbagai pernyataan tentang bagaimana hukum mengucapkan Selamat Natal. Berbagai dalil kemudian dideret panjang dari ayat sampai hadist; termasuk juga pendapat berbagai ulama. Fatwa MUI pun, diposting ulang lengkap walau kadang judul yang dicamtumkan di atas fatwa kadang tak mewakili apa sebenarnya pesan utama fatwa MUI.
Karena Natal berdekatan keramaian pergantian tahun, persoalan kemeriahan menyambut tahun barupun tak ketinggalan jadi perdebatan sengit. Yang paling populer pesan bahwa siapa saja yang memeriahkan dan meramaikan pergantian tahun sama saja dengan menjadi pengikut tiga agama. Apa saja? Nasrani dengan membunyikan lonceng, Yahudi dengan meniup terompet dan Majusi dengan kembang api. Jadi, ikut perayaan tahun baru berarti menjadi Nasrani, Yahudi dan Majusi. Ditambah agama Islam, berarti empat agama sekaligus dianut oleh mereka yang merayakan pergantian tahun. Ahai.
Menarik juga paparan tentang hukum mengucapkan Selamat Natal dan tahun baru. Ucapan itu jika disampaikan oleh umat Islam kepada kalangan Kristiani, dianggap akan menggugurkan keislaman seseorang. Ucapan Selamat Natal dianggap setara dengan syahadat. Jadi, ketika seseorang mengucapkan Selamat Natal berarti ia pindah agama menjadi pemeluk Kristiani.
Menggelitik bukan? Apa iya ucapan selamat Natal sama dengan syahadat? Tak sulit menjawabnya. Karena keterikatan keagamaan Kristiani sangat jelas bukan dengan ucapan selamat Natal melainkan melalui proses baptis. Ucapan selamat Natal secara hakikat tak berbeda jauh dengan ucapan selamat ulang tahun. Karena itu jika membaca teliti fatwa MUI, yang dilarang adalah mengikuti acara misa Natal sebagai prosesi peribadatan. Misalnya, ikut hadir di gereja, atau di acara Natal bersama, yang didalamnya hampir seluruh unsur kegiatan merupakan peribadatan, itu jelas sebagaimana disebutkan dalam Fatwa MUI, memang dilarang.
Karena itu sangat berbeda sekali ucapan selamat Natal dengan syahadat. Menyamakan syahadat dengan ucapan selamat Natal tidak hanya salah kaprah tetapi bisa berarti menurunkan nilai kesakralan syahadat. Juga berarti membuat makna Selamat Natal sebagai sangat istimewa; begitu bernilai tinggi dari yang awalnya sekedar ucapan hubungan bersifat sosial.
Apakah mengucapkan selamat Natal sama saja dengan membenarkan posisi Nabi Isa AS sebagaimana dipahami umat Kristiani? Karena Natal berarti kelahiran, mengucapkan selamat Natal sebenarnya sama saja dengan menyampaikan selamat ulang tahun kepada Nabi Isa. Bukan membenarkan Nabi Isa sebagai anak Tuhan. Ucapan selamat Natal yang berarti selamat lahir itu sedikit mirif dengan Alquran ayat 33 Surat Maryam yang berbunyi kesejahteran semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. Tentu saja di Alquran sangat tegas dan jelas bahwa itu menyangkut Nabi Isa Alaihissalam; seorang Nabi dan Rasul, bukan anak Tuhan.
Itu baru respon dalam bentuk tulisan atau ucapan. Kadang di beberapa tempat ada kegiatan umat Islam yang sengaja dirancang bersamaan perayaan Natal. Maksudnya sih, biar mengalihkan perhatian umat dari kegiatan Natal. Realitasnya, sama saja sebenarnya kegiatan seperti itu justru makin meramaikan perayaan Natal. Secara tak langsung ikut-ikutan menyemarakkan Natal.
Termasuk di sini terkait moment pergantian tahun. Kadang dibuat acara bernuansa keagamaan Islam, sebagai -sebut saja- tandingan keramaian perayaan tahun baru. Lagi-lagi ini sama saja memeriahkan pergantian tahun. Hanya bedanya pada konten atau isi. Bukankah sebenarnya pergantian waktu itu biasa saja bagi umat Islam?
Mungkin jauh lebih baik bila memaknai pergantian tahun sebagai moment evaluasi diri. Instrospeksi tentang apa yang sudah dikerjakan dan apa yang perlu direncanakan ke depan agar kehidupan mendatang menjadi lebih baik.
Kadang karena melebih-lebihkan dan mengukur sesuatu atas dasar ukuran yang salah membuat sesuatu yang sebenarnya hanya soal ecek-ecek berubah menjadi bernilai tinggi. Ucapan Natal yang sebenarnya tak lebih dari pernik hubungan sosial, karena diposisikan dan dipersepsikan bahkan dianggap sama dengan syahadat, yang awalnya biasa saja, berubah menjadi bernilai tinggi. Kita membuat persoalan ucapan selamat Natal menjadi seakan urusan super berat, dianggap terkait aqidah misalnya. Repot juga kalau semua hal dianggap aqidah, sehingga yang ringan dan lucupun jadi persoalan super ruwet, bikin kepala pusing. Begitulah.