SUMENEP, koranmadura.com – Rencana DPRD Sumenep untuk membahas Raperda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hari ini, Senin 15 Januari 2018 mendapat respon kurang baik dari kelompok masyarakat Barisan Ajaga Tana Ajaga Na’ Potoh (BATAN). Minggu kemaren, 14 Januari 2018 mereka berkumpul di kantor PCNU Sumenep membedah raperda tersebut.
Dari pertemuan dimaksud, Batan menemukan beberapa hal yang dinilai belum cukup layak ditetapkan sebagai perda. Penetapan yang dijadwalkan hari ini di kantor DPRD setempat dinilai terlalu terburu-buru. Oleh karenanya Batan mendesak agar penetapan tersebut ditunda hingga bagian-bagian yang dinilai masih kurang layak itu dibenahi.
Dalam pertemuan tersebut, hadir beberapa pengurus PCNU Sumenep yang diantaranya adalah A. Dardiri Zubairi yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Tanfidz. Selain itu hadir pula tiga anggota DPRD Semenep, antara lain Nurus Salam (Ketua Komisi 2), Jauhari (Anggota Komisi 3) dan Sukri (Sekretaris Komisi3).
Sayangnya, desakan untuk menunda penetapan ini kurang digubris oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Sumenep. Berdasarkan informasi yang dihimpun koranmadura.com, tidak ada pembatalan jadwal rapat paripurna penetapan rapeda ini.
Berikut kutipan lengkap catatan Batan terhadap naskah Raperda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diunggah oleh A. Dardari Zubairi, di akun facebook nya:
Catatan Naskah Akademik Perda PLP2B
Darurat agraria di Sumenep sudah ibarat piramida yang bergerak semakin lebar ke bawah, menjadi lebih luas, lebih rumit dan kompleks. Dalam keadaan yang semakin kompleks inilah, persoalan-persoalan agraria di kabupaten ujung timur pulau Madura ini tidak bisa kemudian sekedar dipahami hanya dalam aspek perampasan lahan semata. Tetapi yang juga harus kita sadari bahwa kini persoalan tersebut berdiri di atas banyak kepentingan yang sifatnya cenderung politis dan borjuistik; satu keadaan dimana absennya keadilan dan kemanusiaan dianggap hal biasa demi melanggengkan egoisme dan hasrat pribadi untuk memupuk kebanggaan materiil di atas ketimpangan sosial.
Mari sekilas kita baca kondisi terakhir kita: setelah maraknya pembangunan industri tambak yang kini telah banyak meresahkan warga, baru-baru ini sejumlah lahan produktif pertanian juga telah banyak yang dialihfungsikan menjadi area perumahan-perumahan secara “liar”. Wajar, dalam penghitungan tahun 2016 yang lalu, lahan pertanian di Sumenep senantiasa terus berkurang 5 persen setiap tahun, ternyata itu karena alih fungsi lahan ini yang terjadi dan seolah-olah tanpa penanganan. Ya, terkesan dibiarkan oleh pemerintah daerah.
Melihat kenyataan ini, kita memang tak boleh sekedar duduk-duduk santai lagi. Keadaan sudah semakin ruet. Sudah saatnya kita memikirkan dengan serius apa yang bisa kita lakukan ke depan. Cukup sudah lahan-lahan itu hangus di hadapan mata kita. Hanya dengan diam saja, manampa dagu di pertengahan musim hujan ini tentu tak akan pernah menghentikan para pemodal itu membeli tanah kelahiran kita ini. Setidaknya ada satu hal yang bisa kita lakukan.
Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep telah mengajukan Naskah Akademik Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Tanpa uji publik yang melibatkan semua stakeholder terkait, ternyata Perda tersebut sudah akan disahkan. Tetapi mujur, dua hari yang lalu, Kamis, 11 Januari 2018, ternyata perda tersebut gagal disahkan karena peserta sidang tidak memenuhi kuorum. Dan ternyata, tepat tadi malam, Sabtu 13 Januari 2018 M. sekitar pukul 19.30 WIB, terdengar kabar bahwa ternyata Naskah Akademik PLP2B Pemkab Sumenep tersebut, akan segera disahkan besok, Senin 15 Januari 2018.
Memang nampak terburu-buru. Kita tentu masih ingat bagaimana Perda RTRW dulu tiba-tiba menetapkan tanpa sepengetahuan publik 1.723 ha sebagai lahan tambak udang. Apakah Perda PLP2B ini akan sema dengan Perda RTRW? Mengelabuhi publik dengan tiba-tiba mengesahkan satu kebijakan menyangkut orang banyak tanpa persetujuan/kajian publik terlebih dahulu. Nah, dalam keadaan ini, kita memang perlu bertanya: apakah Perda PLP2B ini sudah benar-benar dirancang dengan kritis dan strategis? Atau sekedar formalitas? Ke mana keberpihakan Perda PLP2B ini? Apakah ia betul-betul dirancang untuk kepentingan rakyat secara luas atau sekedar dirancang untuk kepentingan para pemodal?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, ada beberapa catatan kritis yang bisa kita ajukan untuk menjadi pertimbangan kembali. Catatan kritis ini harus dimaknai sebagai tanggapan dan saran bagi perbaikan Naskah Akademik Perda ini yang rencananya akan segera disahkan. Pun demikian, catatan ini bisa juga dianggap sebagai suara masyarakat yang dalam Perda PLP2B *BAB IV tentang Perencanaan dan Penetapan pasal 15 ayat 1, 2 dan 3* diperbolehkan dan sama-sama punya hak untuk bersama-sama mempertimbangkan isi Perda PLP2B ini sebelum disahkan.
Beberapa catatan kritis itu, yakni sebagai berikut:
- Tentang jumlah lahan seluas 20.860,2 ha sebagaimana tertuang dalam BAB IV tentang Perencanaan dan Penetapan pasal 7 ayat 5 perlu dijelaskan lebih rinci. Dalam Naskah akademik itu hanya disebut jumlah lahan perkecamatan sebagaimana tertuang di pasal 8. Untuk menguatkan legalitas dan legitimasi Perda ini penting jumlah lahan perdesa di tiapkecamatan tersebut dijelaskan. Lebih ideal lagi jika penghitungan jumlah lahan menukik hingga ke pemilik lahan, by name by address seperti Perda PLP2B di Kabupaten Temanggung.
- Terkait soal penentuan syarat-syarat alih fungsi lahan sebagaimana dalam BAB IX Bagian Ketiga tentang Alih Fungsi Lahan pasal 44 ayat 3 nampaknya terlalu buru-buru sehingga terkesan sepihak. Keterlibatan publik untuk ikut campur mempertimbangkan alih fungsi lahan rasa sengaja dicegal dalam Perda PLP2B ini. Padahal kita meyakini sepetak tanah itu memiliki nilai sosial. Jadi tidak boleh persoalan alih fungsi lahan kemudian disederhanakan hanya dalam relasi pemilik dan pembeli/pengalihfungsi. Bagaimanapun suara publik sangat penting. Jadi dalam pasal 44 ayat 3 poin a tersebut mungkin bisa dijelaskan dan diarahkan, bahwa yang dimaksud kelayakan strategis juga harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
- Selanjutnya masih tetap soal alih fungsi lahan produktif pertanian dan pangan. Dalam pembacaan kami, tepat di pasal 50 ayat 3 nampak absurd dan mendua. Dalam pembacaan kami, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan harus dalam konteks melindungi petani lokal, jadi sebisa mungkin kepelikan lahan produktif pangan itu tidak boleh dialihfungsikan, sebagaimana dalam ayat 3 yang nyata memberi kelonggaran dan kebebasan untuk para pemilik lahan untuk mengalihkan kepemilikannya kepada siapa saja.
- Kali ini tentang sangsi. Dalam soal sangsi Perda PLP2B ini dalam pembacaan kami terlalu lunak. Sama sekali bagi pelanggar, perbuatannya tak digolongkan sebagai unsur pidana. Karena mestinya Perda ini harus memberi efek jera bagi orang-orang rakus yang mau mengalihfungsikan lahan. Seperti Perda PLP2B Kabupaten Probolinggo, seharusnya Perda PLP2B Kabupaten Sumenep juga menentukan sangsinya bagi pelanggar, dalam bentuk pidana dan/atau denda yang berat. Jadi bukan sekedar Sangsi Administratif sebagaimana di BAB XV di Perda PLP2B Kabupaten Sumenep ini.
- Yang juga tak kalah penting adalah dalam aspek Pengembangan. Pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan bagaimanapun tetap harus berbasis kerakyatan. Jadi harus dikelola atas nama masyarakat lokal sendiri. Maka dari itu, sebagaimana dalam BAB V tentang Pengembangan pasal 27 ayat 2 yang memperbolehkan korporasi untuk mengendalikan pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan tersebut mestinya tidak diizinkan. Karena logika korporasi itu dalam bentuk apa pun pasti kapitalistik, tidak lagi akan mendasarkan dirinya pada kepentingan penduduk lokal secara luas. Jadi membiarkan korporasi ikut campur menguasai dalam mengembangkan lahan pertanian pangan sama saja Perda PLP2B semakin memperkecil atau bahkan menghabisi kesempatan masyarakat lokal Sumenep berdaulat dalam soal pertanian itu sendiri.
Setidaknya lima hal di atas ini adalah hasil pembacaan kami terhadap Perda PLP2B Kabupaten Sumenep. Maka dari itu, sebelum Naskah Akademik Perda PLP2B ini disahkan dalam sidang Paripurna, kami meminta dengan hormat agar Perda yang dimaksud ditunda agar tidak ditetapkan pada besok, Senin 15 Januari 2018 M. untuk kemudian dipertimbangkan ulang. Karena ini semua menyangkut seluruh masyarakat Sumenep secara umum dalam jangka yang panjang. Demikianlah pembacaan dan catatan kami terhadap Perda PLP2B Kabupaten Sumenep ini.
Wallahua’lam...
(BETH)