Pekan lalu, partai politik yang memenuhi syarat telah mengumumkan nama-nama calon kepala dan wakil kepala daerah yang akan diusung dalam Pilkada serentak 2018. Berbagai varian koalisi atau gabungan antar partai terpapar untuk mendukung nama-nama calon kepala dan wakil kepala daerah. Ada partai yang mencalonkan, ada pula yang sebatas menjadi pendukung kandidat yang dicalonkan partai lain.
Dari 171 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2018 serentak terlihat jelas lintas kerja sama antar partai politik. Di sebuah daerah misalnya, partai A berkoalisi dengan partai B untuk menghadapi calon yang didukung partai C yang bergabung dengan partai D, E dan F. Di derah lainnya, partai B bergabung dengan partai D menghadapi kandidat yang didukung partai A, yang bergabung bersama partai F. Masih banyak contoh lain yang memaparkan pengelompokan partai dalam mendukung calon kepala dan wakil kepala, yang polanya saling bersilangan pada berbagai daerah. Pada satu daerah bergabung di daerah lainnya bersaing berhadap-hadapan.
Inilah realitas politik yang berkembang dalam pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 dan Pilkada sebelumnya. Sebuah gambaran betapa dinamisnya interaksi antar partai politik tanpa ada batas-batas kaku dan baku. Tidak ada sebuah pola yang sama misalnya, karena di tingkat nasional berkoalisi dalam Pilkada daerah tertentu dipastikan juga bergabung. Semuanya sangat terbuka bekerja sama sekaligus sangat mungkin saling berhadapan.
Partai Islam dan Nasionalis misalnya, bukan hal luar biasa bila di sebuah daerah berhadapan di daerah lain bergandengan tangan. Demikian pula, partai nasionalis yang secara idiologi dan platform memiliki kesamaan bisa berhadapan di daerah tertentu.
Masyarakat agaknya perlu disegarkan tentang data-data perkembangan politik di era modern ini. Ketika tampil dalam Pilkada Solo Jokowi didukung antara lain oleh PKS. Namun saat Pilpres PKS mendukung Prabowo Subianto. Lalu, ketika tampil dalam Pilkada Jakarta Jokowi dan Ahok didukung Gerindra. Namun pada periode berikutnya Gerindra berseberangan dengan PDI Perjuangan dengan mendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Masih ingat ketika Pilres 2014? Anies Baswedan yang menjadi juru bicara Tim Jokowi-JK harus berhadapan dengan Tim Prabowo-Hatta Radjasa. Lalu, ketika Pilkada Jakarta tahun 2017, Anies Baswedan justru didukung Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto. Itulah dinamika politik. Tidak hitam putih.
Dengan gambaran sederhana ini semakin jelas bahwa dalam dunia politik apalagi di negeri ini yang hubungan antar partai serta antar pendukung sangat cair serta realitas multi partai, interaksi politik sangat dinamis. Persentuhan kebersamaan dan saling berhadapan antar partai politik sangat mudah sekali mengalami perubahan. Jargon politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada kepentingan abadi dalam konteks positif sebenarnya telah berjalan baik di negeri ini. “Kepentingan” memperbaiki kehidupan bangsa, semangat memperbaiki daerah, meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah menjadi itikad utama sehingga mudah membangun kebersamaan antar partai politik. Perbedaan dalam proses dukungan pada calon kepala dan wakil kepala daerah termasuk dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih karena kesesuaian bersifat methodelogis dan taktik penyelesaian masalah bangsa dan daerah.
Karena itulah sebenarnya ketegangan antar partai politik, antara pendukung tak perlu terjadi. Bukankah terasa lucu misalnya pendukung partai A bersitegang dengan partai B di sebuah daerah padahal di daerah lain kedua partai berkoalisi saling bahu membahu memperjuangan calonnya.
Dengan mencermati peta politik di negeri ini, yang memperlihatkan hubungan sangat cair antar partai politik, sangat mudah mengetahui bahwa ketegangan politik dalam Pilkada Jakarta misalnya lebih karena adanya faktor-faktor dari luar politik yang mempengaruhinya. Ada semacam gerakan pemikiran yang mencoba membenturkan persaudaran anak bangsa yang ironisnya menggunakan dan memanfaatkan ajaran suci bernama agama. Padahal hubungan antar agama di negeri inipun, sebagaimana hubungan antar partai politik sangat harmonis. Riak-riak yang merebak tak lebih sekedar bumbu yang makin mematangkan kebersamaan dan persatuan anak bangsa di negeri ini.
Komunikasi intensif antar partai politik, keterjalinan antar pemeluk umat agama, di era media sosial ini memang perlu dibangun dan disegarkan kembali agar tidak mudah diganggu serta dirusak oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Seluruh potensi anak bangsa perlu menjaga kebersamaan, persatuan dan persaudaraan negeri ini agar terbangun energi dan kekuatan demi mewujudkan Indonesia Hebat. (*)