Kritik dan dukungan pada pemerintah sama pentingnya. Dalam iklim demokrasi yang sehat keseimbangan antara kritik dan dukungan diperlukan. Dukungan mempermudah pemerintah bekerja efektif, kritik berfungsi sebagai bagian dari pengawasan sekaligus masukan agar pemerintah dapat bekerja lebih baik.
Kesadaran pemikiran seperti itulah yang dikembangkan Presiden Jokowi dalam merespons kritik berupa kartu kuning saat hadir dalam acara Wisuda di Universitas Indonesia. Presiden Jokowi bahkan memberikan apresiasi dengan merencanakan mengirim mahasiswa perwakilan BEM Universitas Indonesia ke Kabupaten Asmat agar lebih mengetahui berbagai persoalan riil terutama terkait medan kabupaten yang berada di Provinsi Papua itu.
Jauh sebelum muncul protes Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa, sebenarnya seperti ditegaskan Johan Budi, Staf Khusus Kepresidenan bidang Komunikasi, sudah mengagendakan pertemuan Presiden Jokowi dengan kalangan BEM Universitas Indonesia. Namun karena sudah ada protes saat acara berlangsung berarti apa yang direncanakan dianggap tak perlu lagi karena sudah disampaikan pada acara wisuda.
Yang menarik dari peristiwa itu adalah respons positif Presiden Jokowi yang menganggap biasa saja muncul protes dari BEM UI. Tak ada reaksi berlebihan. Semuanya dianggap sebagai bagian dari proses demokrasi katakanlah partisipasi mahasiswa terhadap jalannya pemerintahan. “Saya kira ada yang mengingatkan itu bagus sekali,” katanya, usai mengunjungi Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, di Situbondo.
Presiden Jokowi menilai wajar sikap dari mahasiswa karena mereka masih memiliki jiwa muda dan aktif sebagai aktivis kampus. Ia mengakui belum menerima tuntutan yang diinginkan BEM Universitas Indonesia. Namun seperti diakuinya sudah tahu bahwa salah satu tuntutan yang diminta adalah perbaikan gizi bagi masyarakat suku Asmat, Papua, yang mengalami gizi buruk. “Nanti diupayakan akan dikirim perwakilan dari BEM UI ke Asmat. Bisa ketua atau anggotanya untuk datang dan melihat langsung infrastruktur yang ada di sana. Biar melihat bagaimana medan yang ada di sana, kemudian memahami problem-problem besar yang dihadapi di daerah-daerah terutama di Papua,” jelas Presiden Jokowi.
Respon biasa saja dari Presiden Jokowi itu dan ajakan pada BEM UI melihat medan di Asmat menegaskan tentang bagaimana mengembangkan tradisi berpikir rasional dalam menyikapi persoalan bangsa. Mengajak melihat fakta dan data. Presiden Jokowi menganggap hal biasa jauh dari kesan “bombastis” karena memang begitulah selayaknya proses dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat dari kalangan manapun termasuk mahasiswa wajar saja menyampaikan masukan kepada pemerintah disertai data dan fakta obyektif. Justru dengan masukan atau kritik itu pemerintah akan merasa mendapatkan perspektif dari sisi lain.
Berbagai informasi obyektif dan konstruktif yang mengingatkan Presiden akan sangat besar manfaatnya bagi kemajuan negeri ini. Jauh berbeda tentu saja, bila yang dikedepankan sikap apriori bernuansa kebencian. Termasuk juga cara pandang yang menganggap apa yang dilakukan pemerintah semuanya salah. Bukan hanya jauh dari memberikan manfaat bahkan secara tak langsung berpotensi negatif karena menanamkan bibit-bibit pertentangan, memicu sikap emosional serta menumpulkan logika masyarakat.
Di berbagai media sosial memang sempat beredar pandangan bernada “mengompori” serta seperti memacu adrenalin kebencian masyarakat. Sikap mahasiswa yang biasa saja dalam pandangan Presiden Jokowi diolah menjadi amunisi politik bernuansa emosional. Ada pula yang memblow up seakan peristiwa pada acara wisuda sangat luar biasa lalu digambarkan *khayalan* kompleksitas pemerintahan Presiden Jokowi. Tuntutan yang diajukan BEM UI diperlebar ke berbagai hal –lagi-lagi dengan menumpulkan logika serta mengedepankan sikap emosional.
Muncul pula “pandangan lebay” bernada mengompori menganggap sangat luar biasa sikap mahasiswa dari BEM UI dengan menyebut sebagai keberanian yang tidak takut ditembak, ditangkap apalagi diculik. ”Apa ngak bakal mikir kalau ditembak sniper?” kata salah satu tulisan bernada berlebihan itu. Seakan pemerintah sekarang ini otoriter seperti di masa lalu. Lupa bahwa era sudah berubah sehingga kritik pada pemerintah adalah hal biasa.
Pemikiran bernuansa buram seperti itulah yang cenderung menghina logika, memutarbalikkan fakta, memprovokasi, memanas-manasi, menebarkan kebencian, mengembangkan sikap emosional yang perlu dijernihkan dan diluruskan. Sudah bukan masanya lagi berbagai kekerasan pemikiran apalagi bersifat fisik muncul di era now karena setiap orang bisa berbicara tanpa perlu lagi ada pembatasan. Selama apa yang dilontarkan obyektif, faktual, akurat dan bukan fitnah, tidak bernuansa kebencian walau berisi kritik apalagi konstruktif seperti kata Presiden Jokowi yah, biasa saja. Begitulah seharusnya hidup di negeri damai ini.