SUMENEP, koranmadura.com – Kesalahan kontraktor atau pihak ketiga dalam mengerjakan proyek yang dibiayai negara tidak bisa dipidanakan. Kegagalan kontruksi, salah merencanakan dan kontruksi yang rusak saat pembangunan hanya bisa diperdatakan.
Hal itu dikatakan oleh Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Asosiasi Kontraktor Ketenagalistrikan Indonesia (Aklindo) Sumenep, Madura, Jawa Timur, Khairul Anwar. Menurutnya, kegagalan kontraktor dalam proyek negara baik dalam pelaksanaan, perencanaan maupun pengawasan merupakan bagian dari kontrak kerja sama dengan pihak swasta.
”Kalau dulu ada kesalahan ngecor saja pidana. Sekarang, semuanya berpegang perdata. Artinya kerja sama yang dibangun berdasarkan kesepakatan berdua sehingga sifatnya perdata,” katanya kepada koranmadura.com.
Menurutnya, aturan itu tertuang dalam Undang-undang No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang tersebut sebagai penggati nomor resmi menggantikan Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999. ”Kalau di dalam undang-undang yang lama, itu bisa diproses hukum. Tapi kalau yang baru tidak boleh,” ungkapnya.
Sehingga, lanjut Khairul, sebelum pekerjaan selesai dan diserahkan hingga tahap dua maka tidak boleh ada penegakan hukum, baik dari kepolisian, kejaksaan maupun penegak hukum yang lain, meskipun ada laporan dari warga.
”Boleh penegak hukum memproses apabila rekomendasi dari pejabat berwenang, seperti BPK (badan pemeriksa keuangan), karena undang-undang itu adalah lex specialias,” ungkapnya.
Apabila terdapat ketidaksesuaian dalam bidang konstruksi selama pekerjaan berlangsung, seperti roboh dan permasalahan lain, kata Khairul, pihak ketiga hanya dibebani untuk mengulang pekerjaan dari awal.
Begitupula apabila ditemukan ada kerugian negara berdasarkan hasil audit, rekanan hanya dibebani untuk mengembalikan. Sesuai undang-undang BPK maksimal masa pengembalian maksimal 60 hari. ”Berbeda lagi kalau ada yang meninggal dunia selama pekerjaan berlangsung atau fiktif. Itu masuk pidana,” tegasnya. (JUNAIDI/MK/VEM)