Apa sebenarnya yang terjadi pada sebagian rakyat di negeri ini ketika Presiden Jokowi menjadi imam sholat saat berkunjung ke Afghanistan saja digugat, dipertanyakan, dipreteli sampai sedetail-detailnya. Dilihat dengan perspektif penuh kecurigaan seakan sebagai pencitraan. Bahkan disandingkan kegiatan sholat dengan iman berbeda disertai komentar bernuansa tudingan tanpa dasar. Benar-benar membingungkan.
Dua foto pelaksanaan sholat berbeda diperbandingkan, disebarkan di dunia Medsos disertai kalimat penuh ledekan. Yang pertama, Presiden Jokowi menjadi imam sementara Presiden Afghanistan Asgraf Gani dan para ulama negeri itu bermakmum. Foto satunya, ulama Aghanistan menjadi imam sedang Presiden Jokowi bersama Presiden Afghanistan dan jajaran pejabat lainnya bermakmum.
Foto pertama, disebutkan bahwa ketika sholat imamnya Presiden Jokowi tidak sah lalu terpaksa diulang dipimpin ulama Afghanistan seperti terlihat pada foto kedua. Komentar lebih parah menyebut sebagai pencitraan bernuansa hoax. Jadi dicurigai sebagai foto macam-macamlah; tidak dipercaya. Beruntung tersebar pula video saat Presiden Jokowi menjadi imam sehingga terpatahkan tudingan kecurigaan itu. Melalui pesan video juga terpapar bahwa hampir tidak mungkin para ulama dan Presiden Afghanista mau berbohong berpura-pura sholat bermakmum pada Presiden Jokowi.
Sebenarnya sebagai pucuk pimpinan negara ini apapun yang dilakukan Presiden Jokowi pasti menarik perhatian rakyat negeri ini bahkan dunia. Wajar saja, kegiatan Presiden Jokowi mudah menjadi viral di media sosial maupun media mainstream. Berbagai komentar pro dan kontrapun sangat mungkin muncul ketika ada pemberitaan kegiatan beliau. Namun terasa agak berlebihan bila aktivitas ibadah sholat dijadikan sasaran komentar bernuansa kepentingan politik –apalagi kalau bukan melecehkan-, meremehkan, atau menjelek-jelekan layaknya aktivitas politik.
Apa iya untuk menarik simpati masyarakat perlu merekayasa sholat lalu beliau berusaha tampil sebagai imam. Apalagi ini terjadi di negara orang, yang sudah tentu segala sesuatu tuan rumahlah yang mengatur. Benar-benar sebuah cara berpikir yang sangat berlebihan. Ibadah kepada Yang Kuasa pun yang dilakukan seorang Presiden Jokowi dipandang melalui kaca mata bernuansa “oposisi politik” berlumur kebencian. Dikomentari layaknya persoalan kehidupan sosial, bermuatan dan berciri pandangan dari yang berbeda sikap politik.
Menjelang Pilpres pernah pula terjadi ketika Presiden Jokowi berhaji, foto-foto ketika berpakaian ihram direkayasa terbalik. Lagi-lagi menggambarkan sebuah serangan politik yang amat sangat berlebihan; sampai hubungan seseorang dengan Tuhannya pun dipolitisir dan dipelintir.
Sholat memang ibadah yang mudah terlihat siapapun, apalagi di tempat umum. Jika itu dilakukan seorang memiliki jabatan sekelas presiden, bukan hal luar biasa bila terpublikasikan. Apalagi tampil sebagai imam, di negara yang sedang diamuk perang lagi. Sudah pasti mudah menjadi viral.
Masalahnya, apakah pantas kegiatan ibadah walau secara jurnalistik memiliki nilai berita -karena dilakukan seorang presiden-, di negara yang sedang dilanda perang, dikomentari dalam perspektif penuh curiga? Dipandang melalui kacamata sebagai lawan politik, yang dibumbui nuansa-nuansa penuh syak wasangka? Lebih parah lagi ketika disertai komentar bernuansa cibiran. Benar-benar jauh dari gambaran mencerminkan politik bermoral.
Di sini terlihat makin jelas belakangan ini aroma politik yang merebak di tengah masyarakat penuh nuansa kebencian; bukan lagi sebuah sikap politik kritis. Alih-alih kritik konstruktif diikuti alternatif solusi, kritik obyektifpun hampir sulit ditemukan. Yang dikembangkan memandang orang yang berbeda sebagai musuh politik, bukan lawan politik untuk interaksi politik mencari alternatif penyelesaian persoalan bangsa. Semua yang dilakukan dianggap salah dan salah. Masyarakat negeri ini tentu masih ingat, ketika sedang dipersiapkan bantuan untuk Rohingnya, pemerintah Jokowi dianggap lamban, tidak memiliki empati; begitu membantu dituding pencitraan. Semua serba salah.
Politik dan pandangan kebencian itu mencapai puncak ketika ibadahpun dicurigai, dipandang dari perspektif bernuasa kebencian. Diledek, dilecehkan, dianggap kebohongan dan pandangan buruk lainnya. Bisa dibayangkan jika hubungan dengan Tuhan pun bernama sholat saja dipolitisir bertitik tolak kebencian apalagi hal-hal lainnya.
Ada apa pada sebagian bangsa ini, yang dikenal religius, yang mayoritas penduduknya muslim kok memunculkan perilaku jauh dari watak dan karakter sejati negeri ini. Siapa pembawa virus busuk ini sehingga kebencian sesama anak bangsa mudah merebak hanya karena perbedaan partai politik dan sikap politik. Organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah dan lainnya tidak boleh tinggal diam untuk segera menebarkan vaksin keramahan dan kesantunan agar virus kebencian tidak makin menyebar menimbulkan keretakan anak-anak bangsa.