Masyarakat negeri ini perlu mengatur gaya hidup terkait menikmati makanan terutama mereka yang berusia memasuki usia kepala empat. Diakui belakangan ini memang sangat luar biasa banyak tawaran penggugah selera. Termasuk berbagai aneka makanan dari luar yang mulai mewarnai berbagai tempat keramaian. Sekedar menikmati untuk memenuhi hasrat keingintahuan sah saja. Namun tetap perlu kehati-hatian demi menjaga kesehatan.
Sekalipun sekarang ini sudah ada BPJS yang menjamin perawatan kesehatan namun pilihan sehat tetap harus jadi prioritas utama. Bagaimanapun sakit tetap perlu dihindari. Karena tak ada lagi yang dapat dinikmati dalam hidup ini ketika fisik sedang ditimpa musibah sakit. Belum lagi kerepotan yang sangat luar biasa.
Rasanya benar sekali ungkapan bahwa sehat itu mahal. Cobalah ingat-ingat ketika sedang sakit. Betapa besar biaya yang diperlukan untuk kembali sehat. Belum lagi cost yang harus dibayar karena si sakit tak bisa lagi beraktivitas.
Masih ada kerugian lain. Kondisi psikologis keluarga jelas terpengaruh. Ada ketaknyamanan suasana, yang kadang mempengaruhi anggota keluarga lain, seperti anak-anak yang kadang karena ayah atau ibu, yang biasa mengantar sedang sakit, terpaksa diantar orang lain atau berangkat sendiri. Keluarga yang sakit pun yang terpaksa hilir mudik ke rumah sakit, juga memerlukan biaya yang tak kecil. Jadi, sehat itu mahal bukan ungkapan kosong.
Sekedar sebuah perbandingan data. Biaya kesehatan di seluruh dunia, merupakan sektor yang kenaikannya selalu berada di atas rata-rata inflasi. Tak jelas apa sebabnya. Apa karena sektor kesehatan itu, selalu menjadi kebutuhan seluruh manusia tanpa kecuali, sehingga dinaikkan berapapun masih tetap saja laku; atau karena faktor-faktor lain.
Kita pernah mendengar kebutuhan makanan, merupakan areal paling prospektif untuk berbisnis. Ini karena praktis setiap orang pasti butuh makan. Tapi agaknya, bisnis kebutuhan kesehatan layak dideretkan dengan makanan karena masyarakat saat ini sudah mulai menyadari kebutuhan sehat. Sehat itu perlu dan ternyata, ini yang jadi persoalan, sangat mahal.
Terkait makanan, masyarakat bisa memilih sesuai kadar kemampuan. Tak mampu beli daging, bisa beralih ke tempe atau tahu. Beda dengan sakit. Kita tak mungkin kalau sedang sakit jantung misal, memilih dokter umum yang dianggap relatif lebih murah. Atau, yang paling ekstrim, karena dokter gigi mahal, terpaksa datang ke tukang gigi untuk urusan gigi yang seharusnya ditangani dokter gigi.
Anatomi sektor kesehatan yang tergambar sederhana itu, tanpa harus dipikirkan nyelimet memang menjanjikan dijadikan areal bisnis. Kesadaran kesehatan masyarakat potensial digarap sebagai ladang cari keuntungan. Kesehatan tak lagi persoalan kemanusiaan, sudah tergolong areal bisnis menggiurkan. Tak aneh tahun-tahun terakhir ini banyak berdiri RS-RS super komersial.
Kondisi ini memang tak bisa dibendung. Prinsip ekonomi berlaku: ada permintaan, ada penawaran, ada pelayanan sekaligus ada transaksi. Arus dasyat itu mengalir deras mewarnai kehidupan masyarakat manapun di dunia ini.
Persoalannya, apa fungsi dan peran negara di sini. Apakah arus dasyat komersialisasi kesehatan itu dibiarkan pada mekanisme pasar; berkembang hanya atas landasan kapitalisme? Tentu tidak. Negara memiliki kewajiban melindungi warga. Jika pasar memang tak bisa dibendung, pemerintah harus mampu mensiasatinya. Di sinilah pentingnya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Sehat itu memang mahal, tak bisa dibantah. Pemerintah harus mampu mensiasati dengan membangun kebersamaan masyarakat, saling menunjang antar masyarakat melalui asuransi kesehatan yang bersifat wajib (mandatory). Lalu tentu, pengembangan RS-RS yang memberikan pelayanan terbaik kepada siapapun, tanpa kecuali agar kasus seperti ramai dibicarakan, minimal jarang lagi terjadi di negeri ini.