KORANMADURA.com – Kasus perselingkuhan semakin marak belakangan ini. Ada artis, dokter, legislator, dan banyak profesi lainnya. Setiap kasus semacam ini, selalu wanita yang dipersalahkan. Sampai sadis dituding pelakor, alias perebut laki orang. Waduh!
Katrin Bandel, dosen Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang juga ahli dalam kajian gender, memberikan pendapatnya tentang ini. Menurut Katrin, kasus-kasus perselingkuhan berkaitan dengan relasi pribadi yang sangat kompleks.
“Apabila dikaji secara mendalam, pasti setiap kasus berbeda dengan yang lain, dan hampir mustahil dinilai secara tegas, siapa yang ‘salah’ dan siapa yang ‘benar’,” ungkap Katrin, Jumat, 23 Februari 2018).
Masalahnya adalah, lanjut dia, media massa tidak mungkin menghormati kompleksitas itu. Sudah menjadi ciri khas media massa bahwa segala sesuatu disederhanakan, juga cenderung dicari unsur sensasionalnya.
“Di antaranya, pandangan bahwa laki-laki seakan-akan secara ‘alami’ lebih mudah tergoda, bangkit hasrat seksualnya, dan bahwa salah perempuanlah kalau itu terjadi, karena perempuannya terlalu menggoda,” ujar perempuan yang menulis buku Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial tersebut.
Menurutnya, dengan imaji maskunitas tersebut, laki-laki kemudian dipandang wajar jika tidak memiliki kontrol diri yang cukup kuat. “Sehingga ‘sewajarnya’ mengejar perempuan lebih dari satu. Seakan-akan tidak bisa disalahkan karena sudah ‘naturnya begitu’,” kata Katrin.
Katrin juga menegaskan bahwa stereotipe semacam itu tidak ada di dalam ajaran agama mana pun. “Baik ajaran agama maupun realitas di masyarakat sebetulnya tidak mendukung pandangan seperti itu. Jadi itu murni mitos atau stereotipe tanpa dasar,” katanya.
Stereotipe yang diungkapkan Katrin juga disebutnya bukan khas Indonesia. “Saya pikir itu bukan konsep maskulinitas yang khas Indonesia. Pandangan serupa bisa ditemukan di banyak tempat,” ujar dosen tersebut.
Kartin mengaku aneh dengan lelaki Jawa. “Justru yang agak aneh adalah saya rasa konsep maskulinitas di Jawa. Laki-laki terhormat diekspektasikan sangat bisa mengontrol emosinya, termasuk syahwatnya. Dalam budaya Jawa, kesannya sangat kurang jantan kalau seorang laki-laki mengumbar emosinya,” tutup Katrin. (KOMPAS.com/RAH/DIK)