Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri sedang gundah gulana. Apa pasal? Ternyata terkait materi ceramah Ustad Abdul Somad di sebuah masjid di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ketika menjawab pertanyaan dari audiens mengenai sah atau tidaknya menyogok oknum di instansi pemerintahan untuk memperoleh pekerjaan.
Sebagaimana dapat dilihat di tautan youtube, Ustad Abdul Somad mengatakan bahwa ada dua jenis hukum bagi uang yang dibayarkan untuk mendapatkan posisi tertentu yakni menyogok syariah dan menyogok secara haram. Menyogok syariah disebut Abdul Somad membayarkan uang tertentu untuk mendapat hak yang sudah harus dimiliki oleh seseorang. “Kalau sudah memenuhi syarat, tidak masalah. Karena itu artinya dia sedang mengambil haknya. Daripada haknya itu diambil orang lain,” tutur Ustad Abdul Somad.
Menarik dikaji apa yang dipaparkan Ustad Abdul Somad yang memberikan istilah menyogok syariah. Sebuah istilah tergolong baru sekurangnya di tengah masyarakat negeri ini. Sebab, selama ini sogok atau suap selalu ditegaskan para ulama hukumnya haram. Belum pernah terdengar kaifiyah suap syariah. Baik yang memberi maupun yang menerima seperti ditegaskan hadist Nabi Muhammad akan terkena sanksi neraka.
Paparan Ustad Abdul Somad yang membenarkan pemberian itu beralasan semua persyaratan sudah dipenuhi tapi Surat Keputusan Pengangkatan PNS belum keluar. Untuk dapat keluar perlu pemberian dengan nilai tertentu. Pemberian kepada pejabat yang berwenang itu menurut Ustad Abdul Somad dapat dibenarkan karena mengambil haknya.
Pembenaran Ustad itulah yang ditentang keras yang disebut sebagai korupsi oleh Koordinator ICW Febri Hendri. Dasar pemikiran Febri sebenarnya tidak asing dan bahkan sudah menjadi cara pandang masyarakat manapun di belahan dunia ini. Bahwa memberikan sesuatu agar mendapatkan sesuatu sangat mudah dipahami sebagai tindakan menyuap. Dan menyuap secara hukum jelas merupakan tindakan pidana.
Apa yang dilakukan calon PNS itu agar surat keputusan keluar sangat jelas dan tegas merupakan tindakan suap menyuap. Beralasan apapun PNS itu telah melakukan penyuapan. Bahwa penyuapan dilatarbelakangi untuk mendapatkan haknya tidak menghapuskan tindakan dia melakukan pelanggaran hukum. Bagi pejabat bersangkutan lebih jelas lagi. Ia telah mendzalimi, mempersulit pemberian izin yang bila dilakukan kepala daerah misalnya, ada sanksi jelas sebagaimana diatur di UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Uang yang diterimanya lebih jelas lagi sebagai tindakan korupsi untuk memperkaya diri.
Menerima uang bagi pejabat pemerintah di luar hak-hak keuangan yang diatur dalam peraturan atau perundang-undangan sangat jelas sebagai tindak pidana. Menerima uang apapun apalagi seperti kasus PNS, yang terkait jabatannya, tegas dan jelas sebagai tindak pidana.
Bagaimana dari sudut pandang hukum Islam. Mungkin pihak pemberi bisa terkatagorikan terpaksa melakukannya. Namun dalam realitasnya secara hukum pemberi tetap dalam katagori menyuap dengan titik tolak agar Surat Keputusan sebagai PNS segera ke luar. Sementara pejabat yang menahan rasanya tak ada cela sedikitpun yang dapat memberikan pembenaran baik perilaku menahan Surat Keputusan maupun diam-diam meminta uang jasa agar segera menandatangani atau mengeluarkannya.
Pada konteks ini seratur persen benar apa yang ditegaskan Koordinator ICW Febri bahwa uang yang dibayarkan seseorang untuk mendapatkan posisi merupakan tindak korupsi . Si pemberi menjadi bagian alias ikut serta dalam perilaku korupsi itu. Termasuk sangat mudah dipahami bahwa semuanya merupakan praktek suap menyuap. Karena itu terasa aneh bin ajaib bila masih ada pembenaran apalagi dari sudut pandang ajaran agama Islam, yang sangat berhati-hati terkait amanah dan berbagai pemberian kepada pejabat pemerintah. Bersedekah saja, jika ingin dipuji masuk katagori riya dan gugur nilainya dihadapan Allah. Apalagi memberi agar mendapatkan sesuatu yang “jelas-jelas” melanggar hukum dan secara tak langsung membenarkan kelakuan pejabat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Tak perlu berbekal kecerdasan super untuk memahami itu sebagai praktek suap menyuap, tindak pidana korupsi. Yang perlu pemikiran super cerdas memahami pemikiran yang menganggap praktek kotor itu sesuai syariah alias dianggap menyogok syariah. Pusing memikirkannya.