Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agaknya merasa perlu menjelaskan persoalan utang pemerintah. Langkah ini ditempuh bukan hanya sekedar menginformasikan realitas obyektif kondisi utang pemerintah. Yang lebih penting lagi agar terhindar keresahan dunia usaha serta syak wasangka liar menjelang memasuki tahun politik.
Hal mendasar lainnya melalui penjelasan panjang lebar itu diharapkan persoalan utang berkurang dijadikan amunisi politik yang jauh dari proporsional. Masyarakat luas dapat memahami lebih jernih persoalan utang sehingga respon maupun reaksi yang muncul diharapkan lebih obyektif.
Persoalan utang memang harus diakui sangat seksi jika dijadikan senjata politik. Apalagi bila disertai bumbu penyedap bernama plintiran persepsi. Masyarakat akan mudah diarahkan pada kesalahan persepsi sehingga muncul kesimpulan jauh dari proporsional. Apalagi ketika disadari tingkat ketelitian dan kecermatan masyarakat kadang “diganggu” berbagai informasi hoax yang tersebar di media sosial maupun di kalangan group-group komunikasi terbatas.
Di tengah masyarakat paling tidak ada tiga sikap yang berkembang terkait utang Indonesia. Pertama, mereka yang memahami persoalan riil utang pemerintah. Mereka ini biasanya memiliki latar belakang pemahaman cukup memadai tentang utang Indonesia. Mereka ini enjoy saja walau misalnya muncul berbagai provokasi menyesatkan. Kritik dari kalangan masyarakat ini masih bersifat wajar dan rasional sehingga dapat menjadi masukan bagi pemerintah khususnya Kementrian Keuangan.
Kedua masyarakat yang kurang memiliki pemahaman. Mereka ini karena kurang mengerti persoalan mudah menjadi korban provokasi informasi menyesatkan tentang utang Indonesia. Kalangan masyarakat kedua ini sebenarnya memiliki cara pandang obyektif. Namun karena ketakpamahaman -mungkin latar belakang pendidikan bukan bidang ekonomi, sering salah persepsi. Masyarakat seperti inilah yang sangat memerlukan penjelasan sebagaimana telah dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ketiga, masyarakat yang menjadikan utang sebagai amunisi politik. Mereka kadang mengetahui persoalan riil utang namun memanfaatkan sebagai bagian dari sikap politiknya. Jadi kepentingan politiklah yang dikembangkan dalam mempersoalkan utang Indonesia. Sudah tentu yang terpapar jauh dari obyektif bahkan kadang lebih mengesankan sekedar sebuah sinisme politik.
Yang kadang seringkali dikembangkan belakangan ini pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan sepenuhnya tergantung utang luar negeri. Seakan semua pembiayaan seluruh kegiatan di negeri ini hanya mengandalkan utang. Padahal utang bukan satu-satunya instrumen kebijakan. Ada instrumen lain yang sangat penting seperti pajak dan cukai serta penerimaan bukan pajak, instrumen belanja dan alokasinya, kebijakan perdagangan dan invetasi, kebijakan ketenagakerjaan, kebijakan pendidikan dan kesehatan, serta kebijakan desentralisasi dan transfer ke daerah. Jadi utang hanya salah satu instrumen kebijakan dari berbagai ragam kebijakan lainnya.
Sebenarnya jika sedikit saja obyektif, setiap pemerintah di negeri ini, sebut saja sejak era Orde Baru sampai sekarang ini, selalu ada instrumen utang dalam kebijakan pemerintah. Yang perlu dicermati dan dilihat secara jernih apakah utang pemerintah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat misalnya dalam bentuk pembangunan infrastruktur seperti dilakukan pemerintah sekarang atau hanya menjadi bancakan. Juga apa sekedar menjadi bahan konsumtif sebagaimana utang sebelumnya – digunakan untuk dibakar habis dalam kebijakan subsudi BBM yang jauh dari tepat guna. Selama utang pemerintah digunakan untuk hal produktif dan dikelola dengan baik, tak ada yang perlu dirisaukan dan dikhawatirkan.
Sekalipun nominal utang mengalami kenaikan namun Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB sehingga menjadi hanya 26 persen. Dan pada tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. Tahun 2018 ini target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB. Ini merupakan pencapaian yang sangat baik dan menggambarkan bahwa utang Indonesia masih sangat aman.
Mengkritisi pemerintah misalnya agar berhati-hati dalam pengelolaan utang, perlunya pemanfaatan utang pada hal produktif merupakan bagian dari semangat perbaikan. Ini sama pentingnya dengan dukungan pada pemerintah karena mendorong dunia usaha menjadi lebih kondusif. Yang perlu dihindari berbagai lontaran bernuansa provokasi memanfaatkan utang sebagai amunisi politik, yang menebarkan kekhawatiran pada dunia usaha serta masyarakat luas.