Sebagian masyarakat Indonesia mungkin pernah menyaksikan Sekretaris Negara di masa Orde Baru, Moerdiono sedang menyampaikan penjelasan di layar kaca. Siapapun yang menyaksikan cara beliau bicara di layar kaca, dihadapan para wartawan hampir pasti gregetan. Capek menunggu selesainya penjelasan beliau. Untuk mengucapkan satu kata saja perlu jeda beberapa detik. Bayangkan jika satu kalimat panjang berisi berbagai informasi hasil sidang kabinet. Kata anak muda sekarang capek deh.
Tapi tahukah masyarakat Indonesia yang gemas dan gregetan menyaksikan di layar kaca itu bahwa dalam forum terbuka, bukan dihadapan kamera dan jauh dari hiruk pikuk pemberitaan, Moerdiono jika berbicara sangat lancar. Bahkan tergolong sangat fasih dengan joke-joke jenaka jika memberikan pengarahan pada moment seminar, kongkres, munas dan sebagainya.
Pertanyaannya, mengapa Moerdiono seperti memiliki kepribadian ganda dalam berbicara? Begitu berbeda cara bicara beliau antara di depan wartawan, di depan kamera telivisi dengan di forum tanpa ada liputan media? Jawaban Moerdiono sangat jelas bahwa dihadapan wartawan, media, apalagi kamera media elektronik secara sadar berusaha sangat hati-hati. Karena jika salah dampaknya akan sangat luar biasa.
Di PPP ada sosok agak mendekati gaya Moerdiono. Dia adalah Alimarwan Hannan, mantan Sekjen dan Wakil Ketua Umum PPP. Sosok yang pernah menduduki jabatan sebagai Menteri UKM itu dalam keseharian, di PPP, jika berbicara ceplas ceplos dan bernada keras; termasuk pula dalam rapat-rapat PPP. Menariknya, ketika berbicara dihadapan wartawan, apalagi media elektronik, termasuk pula pada talk show gaya garang Alimarwan seperti menghilang berubah menjadi begitu lembut. Alasannya? Sama seperti Moerdiono, sebuah sikap kehati-hatian.
Duo sosok “berkepribadian” ganda dalam berbicara itu rasanya perlu dijadikan pelajaran di era sekarang ini ketika banyak elite politik begitu mudah mengumbar kata-kata kasar, tudingan yang kadang menggunakan bahasa jauh dari kewajaran. Kata-kata ngibul, kucari dosamu mungkin kosa kata yang belakangan ini begitu viral menjadi diskusi karena diucapkan oleh sosok yang boleh disebut elite negeri ini.
Jika mengaca pada gaya Moerdiono dan Alimarwan sungguh terasa kontras. Dua tokoh yang sudah menghadap Allah itu menyadari bahwa ucapan seorang elite pimimpin memiliki dampak besar. Sumpah serapah berkepanjangan sampai mulut berbusa sekalipun yang diucapkan masyarakat bawah, yang tak terliput media, tak akan berpengaruh apapun pada masyarakat luas. Sebaliknya satu kata dari elit pemimpin atau yang dianggap pemimpin yang sudah pasti diliput media akan memberi pengaruh luar biasa di tengah masyarakat.
Masyarakat negeri ini pernah mendengar pernyataan seorang tokoh yang menyebut Pilpres, ketika itu saling berhadapan Jokowi dengan Prabowo- sebagai perang Bratayuda kecil-kecilan. Penyebutan perang Bratayuda jelas jauh dari kearifan walaupun disebut kecil-kecilan. Sebab perang Bratayuda dalam epos Mahabrata merupakan perang habis-habisan. Padahal Pilpres tidak lebih hanya memilih yang lebih baik dari kader-kader bangsa terbaik negeri ini antara Jokowi dan Prabowo. Rakyat sebatas diminta memilih bukan bertarung habis-habisan seperti perang Bratayuda.
Dalam Pilkada Jakarta masyarakat negeri ini, terutama yang berada di Jakarta merasakan betul dampak dari mudahnya terlontar kata-kata kasar, bernuansa permusuhan, kebencian dari tokoh-tokoh yang seharusnya menenangkan masyarakat luas. Pilkada Jakarta akhirnya seakan penuh ketegangan dan pertarungan hidup mati antar pendukung para calon kepala daerah. Benar-benar sebuah pengalaman buruk yang tak boleh lagi terulang.
Jika ujaran kasar saja berdampak luas dan membahayakan, apalagi jika lontaran bernuansa fitnah. Bisa dibayangkan betapa dasyat dampaknya bagi kehidupan masyarakat negeri ini.
Siapapun yang berada di jajaran elite pemimpin, yang memiliki pengikut –apalagi dalam jumlah besar, penting mengingat bahwa apa yang mereka ucapkan membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Ucapkanlah kalimat-kalimat baik, yang bermanfaat agar pengaruh kebaikan terasa kepada masyarakat; bukan kalimat yang justru lebih banyak membawa kemudharatan bagi negeri ini. Begitu.