Ketua Umum PP Muhammdiyah Haedar Nashir melontarkan pemikiran menarik. Pada sebuah kesempatan acara di lingkungan Muhammadiyah, pucuk pimpinan tertinggi organisasi Muhammadiyah itu menegaskan melarang pekik takbir Allahu Akbar dalam berbagai acara formal Muhammadiyah. Haedar Nashir beralasan pekik takbir cenderung disalahgunakan untuk kepentingan politik, pengerahan massa dan bukan religius.
Lebih jauh ditegaskan Haidar bahwa Allahu Akbar merupakan kalimat toyyibah yang bernilai tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau alat untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok. “Muslim yang baik adalah yang berperilaku dan berkontribusi positif bagi masyarakat, bukan mereka yang sedikit-sedikit meneriakan Allahu Akbar,” kata Haedar dalam acara Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQISA).
Pernyataan Haedar Nashir ini, seperti diakuinya mungkin tidak populis karena belakangan memang ada kecenderungan berbagai pengelompokan masyarakat muslim pada banyak acara tertentu mudah sekali menerikkan pekik Allahu Akbar. Namun, tujuan Haedar sudah pasti bukan pada persoalan pengucapannya semata tetapi lebih ke arah kecenderungan mengingatkan potensi penyalahgunaan kalimat toyyibah itu.
Mengucapkan pekik Allahu Akbar dalam moment perjuangan penegakan kebenaran untuk memacu semangat sebagaimana terjadi pada peristiwa 10 November di Surabaya, yang dikomando Bung Tomo dapat dipahami bahkan dianjurkan. Ketika umat Islam menegaskan tekad berjuang menghadapi kekuatan yang merongrong agama Islam, pekik Allahu Akbar wajar diteriakkan. Artinya, pekik Allahu Akbar benar-benar hanya diucapkan untuk sebuah kepentingan sangat luar biasa dan bukan sedikit-sedikit diteriakkan dalam moment yang kadang tidak jelas kepentingannya.
Pengucapan pada moment-moment “ecek-ecek” alih-alih membangkitkan semangat bisa jadi justru menurunan kesakralan pekik Allahu Akbar. Kalimat toyyibah yang agung itu karena dipekikan secara murahan akhirnya cenderung sekedar pemanis acara. Bisa jadi akhirnya, sebagaimana merebak belakangan ini cenderung pula diplesetkan jadi main-mainan.
Di negeri ini masyarakat mengetahui bahwa Rizieq Shihab, merupakan sosok yang paling sering mengkomando pekik takbir Allahu Akbar. Saat menyampaikan ceramah selalui diselingi komando ucapan “takbir!” yang diarahkan pada para jemaah yang hadir. Ia sendiri kadang tidak mengucapkan Allahu Akbar dan hanya mengkomando dengan ucapan: takbir! takbir!
Begitu seringnya komando takbir diteriakkan hingga kadang nuansa “magis” kalimat suci itu berkurang. Karena terlalu sering dan momentumnya biasa saja, jemaah pengajian yang hadir menurun semangatnya saat merespon komando untuk takbir. Ucapan takbir akhirnya terdengar seadanya dan tidak lagi diteriakkan secara total, terkesan biasa saja, tidak sebagaimana pekik takbir dalam momen-momen luar biasa.
Belakangan walau sebatas kata “takbir” dan bukan kata Allahu Akbar, mudah ditemui menjadi bahan ledekan. Di media sosial sering konten-konten yang disebarkan baik berupa tanggapan maupun lontaran pemikiran ditutup kata “takbir.” Kesannya, seperti sindiran dan bahkan cenderung main-main.
Beruntung hanya kata takbir saja dan bukan kalimat toyyibah Allahu Akbar yang jadi bahan candaan.
Di sinilah, bila disikapi secara arif sangat terasa urgensi penegasan Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Bukan hanya persoalan penyalahgunaan pekik takbir Allahu Akbar, agar jangan sampai kalimat suci itu menjadi komoditas politik, termasuk di sini agar jangan sampai jadi amunisi candaan.
Memang diyakini candaan yang muncul tidak terkait langsung pada ucapan kalimat suci Allahu Akbar dan sangat jelas lebih sebagai sindiran pada mereka yang sedikit-sedikit mengkomando takbir. Namun pernyatan Haedar Nashir penting agar kalimat Allahu Akbar terhindar terkontaminasi kepentingan yang bisa jadi sekali waktu jadi sasaran candaan.
Umat Islam tentu tak ingin kalimat suci yang mengagungkan kebesaran Allah subhanu wata’ala kehilangan kesakralannya. Karena itu berdasarkan pernyataan Ketua PP Muhammadiyah jangan lagi mudah mengumbar pekik Allahu Akbar.
Silahkan teriakkan pekik Allahu Akbar sebagai ekspresi nurani, ungkapan perasaan jiwa sebagai kesadaran ketergantungan seluruh hidup hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukan sekedar pemanis bibir apalagi untuk kepentingan yang jauh nilai-nilai keislaman.