Tidak ada yang lebih ironis ketika belakangan merebak penyebaran hoax menggunakan latar belakang atau beridentitas agama Islam. Bila dikaji lebih jauh ada kontradiksi luar biasa antara ajaran agama Islam dengan praktek-praktek penyebaran hoax.
Dalam satu ayat al Quran misalnya, ada pedoman sangat jelas tentang bagaimana merespon berbagai pemberitaan bernuansa “hoax.” Hai orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatannmu itu. (QS:49:6).
Dari ayat Al Quran surat alhujarat itu sangat jelas hoax merupakan problem sosial yang harus diwaspadai. Hoax merupakan praktek yang dalam pandangan Islam dianggap sangat berbahaya karena bisa menjadi pemicu tindakan kesalahpahaman, konflik, kerusuhan dan berbagai kerusakan lainnya. Sangat jelas ajaran Islam mewaspadai hoax.
Karena itu, belajar dari berbagai kasus sosial akibat penyalahgunaan media sosial, rasanya sudah seharusnya umat Islam mulai berbenah diri, konsolidasi internal agar tidak menjadi korban media sosial terutama terkait penyebaran hoax. Sudah saatnya umat Islam kembali menjadikan ajaran Islam ayat 6 surat alhujarat yang berisi bimbingan untuk menyikapi fenomena perkembangan informasi. Bila kesadaran menggunakan surat alhujarat itu diabaikan tak usah terkejut jika umat Islam mudah digiring opini atau informasi menyesatkan.
Kewajiban tabayyun, kroscek sebagaimana ditegaskan Al Quran itu agar umat Islam terhindar dari menimpakan musibah, menimbulkan masalah pada pribadi atau sekelompok orang. Ini akan membuat siapapun akan menyesali bila berita bohong (hoax) tersebar menyebabkan konflik, permusuhan, kebencian dan sejenisnya. Disinilah nilai penting umat Islam menjadikan surat alhujarat ayat 6 itu sebagai perisai utama menghadapi merebaknya fenomena penyalahgunaan media sosial.
Paling tidak ada tiga hal yang perlu dicermati dan diwaspadai umat Islam di tengah merebaknya penyalahgunaan media sosial dalam bentuk penyebaran hoax itu. Pertama, hoax berkonten fitnah. Biasanya disebarkan untuk menyerang dan mengadu domba seseorang atau sekelompok orang.
Fitnah ini merupakan konten paling berbahaya, yang dampaknya bisa sangat luas. Tak aneh kalau Al Quran sampai menegaskan bahwa dampak bahaya fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Jika pembunuhan korbannya jelas, satu dua orang, fitnah dapat menyasar pada orang-orang tak bersalah serta sangat mungkin menimbulkan konflik horizontal antar kelompok masyarakat.
Banyak analis sosial yang berpikir jernih mengungkapkan bahwa kasus konflik di Suriah, masih berkepenjangan antara lain karena penyebaran hoax sangat luar biasa. Beberapa konten pemberitaan menyebutkan bahkan ada produsen hoax yang intensif menyebarkan berbagagai fitnah. Foto dan film berdarah-darah dibuat lalu dikesankan akibat perang disebarkan pada berbagai kelompok yang bertikai di Suriah. Alih-alih mendinginkan suasana bahkan secara sistematis dan massif konflik sengaja dibuat membara oleh mereka yang ingin mengeruk keuntungan dari konflik di Suriah.
Kedua, hoax berkonten plintiran berita. Masyarakat secara sengaja diarahkan pada satu tindakan dengan mengemas dan memplintir informasi. Ini tak kalah berbahaya dari fitnah. Biasanya disebarkan potongan berita yang dinilai bisa membangkitkan antipati atau kebencian pada seseorang atau sekelompok orang. Jadi kesalahan persepsi yang diharapkan dari penyebaran plintiran berita itu.
Ketiga, yang bersifat pembodohan. Hoax seperti ini cenderung bertujuan melecehkan umat Islam dengan cara menumpulkan logika. Biasanya dibungkus ayat-ayat suci sebagai taktik untuk meyakinkan umat Islam. Misalnya, ada hoax menyebutkan malam ini bulan tawaf mengelilingi ka’bah. Ada lagi penyebaran informasi dalam bentuk gambar bahwa telah terjadi peristiwa dasyat di Arab Saudi yaitu Allah menampakkan neraka di dunia. Padahal, gambar yang disebarkan merupakan kejadian eksplorasi minyak di Turministan, pada tahun 1971.
Selain tiga hal di atas, bentuk hoax lainnya berkonten kebencian. Mengungkap sisi buruk orang lain agar dibenci masyarakat luas. Konten ini sering muncul dalam hajat politik sebagai bentuk kampanye negatif. Kasus Pilkada Jakarta yang penuh hoax bernuansa kebencian merupakan pengalaman buruk bagi umat Islam karena sempat menimbulkan pergesekan di antara umat Islam hanya karena perbedaan pilihan politik.
Kemajuan informasi dan komunikasi yang antara lain memunculkan aplikasi untuk kebutuhan media sosial ternyata memang berdampak tak terduga. Ahli komunikasi Alvin Toffler mungkin tak membayangkan kedasyatan produk informasi dan komunikasi berbentuk media sosial itu. Sebuah negara superpower seperti Amerika Serikat saja kelimpungan akibat merebaknya penyalahgunaan media sosial hingga merubah cara berpikir lineer masyarakat.
Kemenangan Donald Trump yang sebenarnya diduga kurang disukai masyarakat Amerika Serikat dinilai banyak analis sebagai salah satu dampak pemanfaatan media sosial. Trump konon dengan cerdik memanfaatkan media sosial untuk kampanye karena secara riil media mainstrem kurang berpihak kepada dirinya. Itu barangkali contoh riil “penyalahgunaan” media sosial.
Beberapa hal terkait dampak penyalahgunaan media sosial ini perlu dicermati dan diwaspadai umat Islam. Jangan sampai umat Islam menari diiringi gendang yang ditabuh orang lain.