Ketika aparat kepolisian menjelaskan penangkapan The Family Muslim Cyber Army (MCA) ada sebagian kecil masyarakat muslim yang sedikit “baper”. Mereka menilai penyebutan “kata muslim” merupakan tindakan yang mencemarkan seluruh ummat negeri ini. Secara tak langsung polisi di posisi ini disalahkan.
Lho? Ini yang membingungkan. Polisi dalam operasi memberantas hoax, ujaran kebencian dan sejenisnya menemukan fakta bahwa mereka yang tertangkap secara sadar menggunakan label muslim. Sudah tentu polisi memaparkan apa adanya. Tak mungkin polisi menyebut nama lain. Sebab kepolisian bisa dituntut melakukan rekayasa kasus. Yang melakukan berlabel muslim tak mungkin diganti nama lain.
Kekhawatiran penyebutan muslim mengarah pada generalisasi –sehingga seakan seluruh kaum muslimin di negeri ini dianggap terlibat– agak berlebihan. Semua tahu MCA bukanlah representasi seluruh umat muslim di negeri ini. Mereka tak lebih dari segelintir orang yang menyalahgunakan kata muslim untuk kepentingan yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Dengan sedikit cermat saja, terpapar jelas mereka yang sepak terjangnya mengacaukan jagad media sosial itu yang harus disalahkan karena memanfaatkan identitas muslim. Merekalah yang mencemarkan umat Islam. Bukan polisi. Aparat kepolisian di sini hanya memaparkan fakta.
Banyak identitas atau label keislaman dipakai untuk tindakan yang jauh bertentangan dengan ajaran Islam. Sebut saja yang paling mencolok ISIS. Ketika ISIS misalnya tertangkap lalu diumumkan lengkap oleh aparat kepolisian apakah lantas masuk akal menuding polisi mencemarkan nama baik Islam.
Faktalah yang berbicara. Dari fakta itu selayaknya -katakanlah ada sekelompok manusia yang melakukan kejahatan menggunakan identitas keislaman, ummat lainnya, yang mayoritas-memberikan dukungan kepada aparat kepolisian untuk memproses mereka. Sangat jelas mereka diduga melakukan tindak pidana yang melumuri dan menciderai umat Islam.
Berikan dukungan dan bukan bersikap sebaliknya kepada aparat kepolisian karena mereka telah menyelewengkan identitas keislaman.
Menarik mencermati pernyataan Kapolri Tito Karnavian yang cukup arif ketika menyinggung persoalan “label” muslim. Beliau yang kebetulan seorang muslim tampak memahami betapa penggunaan kata muslim oleh kelompok penyebar hoax dan ujaran kebencian serta lainnya membuat kurang nyaman bagi mayoritas masyarakat muslim Indonesia. Karena itu sebagai pucuk pimpinan kepolisian Tito telah memerintahkan untuk menyebut sebatas MCA pada setiap penyampaian progress report proses hukum kasus itu.
Sudah tentu respon positif pucuk pimpinan kepolisian itu lebih sebagai keprihatinan pada penyalahgunaan identitas keislaman sekaligus ungkapan pemahaman kekecewaan mayoritas umat Islam Indonesia terhadap pelaku penyebaran hoax dan ujaran kebencian.
Kasus MCA ini diharapkan jadi momentum bagi seluruh rakyat negeri ini untuk membangun kekuatan kebersamaan melawan penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang dilakukan siapapun, atas nama apapun, melalui media apapun. Bagaimanapun sangat disadari hoax dan ujaran kebencian mudah sekali memicu ketegangan bahkan konflik yang dapat merusak kedamaian negeri ini. (*)