Pelarangan pemakaian cadar di Universitas Islam Negeri Yogyakarta ternyata cukup menarik perhatian berbagai kalangan. Pro dan kontra sempat mewarnai perdebatan baik di media mainstream maupun media sosial. Dan seperti biasa selalu terselip nuansa politik yang diarahkan menjadi sinisme seakan pemerintah sekarang kurang bersikap baik pada umat Islam.
Jika diteliti lebih jauh larangan pemakaian cadar sebenarnya lebih karena persoalan teknis semata yang terkait proses belajar mengajar dan aktivitas perkuliahan lainnya. Seorang dosen misalnya, sudah tentu tak akan bisa mengontrol dan mengetahui secara pasti apakah benar mahasiswinya yang ikut kuliah atau “jangan-jangan” orang lain. Ini karena penutup cadar membuat si mahasiswi tidak terlihat wajahnya. Petugas perpustakaan yang menghadapi mahasiswi bercadar kemungkinan juga kesulitan memastikan apakah yang berdiri dihadapannya yang akan meminjam buku benar sesuai kartu perpustakaannya.
Sempat pula beredar joke menarik ketika seorang dosen wanita menceritakan pengalamannya. Ia sebagai dosen dalam proses mengajar ingin terjadi komunikasi tatap muka. Dengan mahasiswi memakai cadar sang dosen secara bercanda mengatakan hanya dapat saling tatap mata. “Tidak bisa memastikan apakah dia benar mahasiswi saya karena wajahnya tak terlihat. Hanya mata yang terlihat,” tuturnya dengan nada bercanda.
Masih bernuansa bercanda, seorang kawan menceritakan tentang sulitnya wanita bercadar menikmati makanan di tengah perhelatan pernikahan atau keramaian lainnya. Ia tak bisa menikmati hidangan dengan baik karena kesulitan mengarahkan tangan melewati cadar sehingga sering terjadi makanan atau minuman mengenai dan mengotori cadar. Sementara untuk memisahkan diri ke tempat relatif sepi lalu membuka cadar perlu mencari tempat terlebih dahulu, yang sudah pasti agak sulit serta memerlukan waktu.
Yang berpikir sedikit serius menilai pemakaian cadar di tengah masyarakat negeri ini tanpa perlu dijelaskan memang menimbulkan kesan eksklusif. Akan tampak mencolok di tengah masyarakat Indonesia bahkan ketika berada di tengah kaum wanita yang memakai hijab, tanpa cadar.
Jadi sangat jelas latarbelakang pelarangan pemakaian cadar sebatas teknis tertib dalam kehidupan keseharian masyarakat negeri ini. Jauh dari nuansa politik apalagi sampai dianggap sebagai kebijakan pemerintah yang kurang bersikap ramah kepada umat Islam. Sangat tidak berdasar dan terkesan berlebihan jika dikembangkan pemikiran bahwa pelarangan cadar merupakan tindakan represif pemerintah kepada umat Islam. Apalagi ini era reformasi ketika hak-hak masyarakat untuk menjalankan keyakinan agamanya dijamin oleh undang-undang.
Yang justru perlu dipertanyakan pengerasan sikap tetap mempertahankan menggunakan cadar atas dasar keyakinan agama Islam. Sebab secara kaidah fiqih dan kepentingan kemaslahatan keumatan pemahaman kewajiban memakai cadar tergolong lemah. Kesepakatan sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak wajib memakai cadar. Juga sangat sedikit yang menganggap sunnah menggunakan cadar bagi kaum wanita. Umumnya ulama menempatkan cadar sebatas persoalan budaya dan bukan terkait sebagai salah satu perintah agama Islam.
Tak perlu jauh-jauh untuk membuktikan bahwa cadar lebih merupakan budaya. Di kawasan Timur Tengah, termasuk di Arab Saudi -tempat turun Islam- pemakaian cadar tidak menjadi kewajiban bagi kaum wanita. Pemakaian cadar lebih sebagai ekspresi budaya dibandingkan dikaitkan perintah agama Islam.
Pada posisi sebagai produk budaya itulah persoalan cadar selayaknya ditempatkan. Dan karena sebatas budaya berpakaian sudah tentu bagi masyarakat muslim negeri ini harus menempatkan secara konstekstual kehidupan kemasyarakatan di negeri ini yang terkait pakaian wanita dengan cukup berhijab, menutup seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajah. Bahkan seandainya menganggap cadar bagian dari ijtihad dalam bentuk fiqih atau hasil pemahaman keagamaan selayaknya tidak dilepaskan dari konteks keindonesiaan.
Islam tidak turun di Arab dalam ruang kosong budaya. Islam hadir di Arab yang sudah memiliki corak budaya sendiri. Islam hadir di tengah masyarakat selalu bersikap terbuka menerima atau membiarkan budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran utama Islam. Dengan keterbukaan menerima budaya itulah yang membuat Islam mudah diterima di belahan dunia manapun.
Tidak perlu meniru dan menjadi orang Arab dalam menganut dan taat menjalankan agama Islam. Karena itu tetaplah menjaga kekhasan keindonesiaan dalam menjalankan agama Islam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai subtansi ajaran Islam.