KORANMADURA.com – Firasat sering digunakan sebagai pedoman oleh seseorang, karena firasat disebut juga kata hati. Namanya kata hati, menurut keyakinan orang, tak pernah bohong, sehingga firasat dianggap mendekati kebenaran.
Hal ini mendorong ahli saraf Dr Linda Rinaman dari Florida State University melakukan penelitian. Dalam riset yang dilakukannya, Rinaman menemukan antara insting dan otak selalu berkomunikasi melalui saraf vagus yang letaknya di usus.
Menurutnya, sistem saraf organ pencernaan memang sering dianggap sebagai “otak kedua”. Saraf Vagus merupakan jaringan dua arah yang luasnya 100 kali lebih besar dari permukaan kulit dan mengirim lebih banyak sinyal ke otak daripada sistem organ lainnya di tubuh.
Saraf ini membawa pesan penting dan detail dari otak ke tubuh. Inilah yang secara ilmu pengetahuan digambarkan sebagai “firasat” awal yang mendorong kita untuk menilai situasi atau menghindarinya sama sekali.
Dalam melakukan riset ini, Rinaman berkolaborasi dengan James Maniscalco dari University of Illinois di Chicago. Riset menunjukkan bahwa sinyal-sinyal dari saraf organ pencernaan dapat bekerja sebagai bendera merah yang menghentikan kita membuat kesalahan.
“Sinyal umpan balik saraf vagus sangat protektif dan mendorong kewaspadaan,” kata Rinaman.
Data riset juga mengungkapkan bahwa pola makan dapat berdampak besar pada kualitas sinyal firasat yang dapat menyebabkan perubahan suasana hati atau perilaku.
Rinaman mengklaim bahwa diet tinggi lemak dapat menyebabkan respons peradangan di saluran pencernaan, yang mengubah sinyal dari saraf vagus dan pada gilirannya dapat menyebabkan gejala kecemasan dan depresi.
“Bukti menunjukkan bahwa memodifikasi diet, mungkin dengan mengonsumsi probiotik, dapat memengaruhi suasana hati dan perilaku kita,” paparnya. (KOMPAS.com/RAH/DIK)