Mengherankan mencermati penyebaran kaos bertulisan ganti presiden tahun 2019 yang disebarkan segelintir masyarakat. Lebih mengherankan lagi ketika di tengah kampanye yang belum jelas dilakukan partai apa, kelompok apa, ternyata sama sekali tidak menyebutkan tokoh yang disiapkan untuk pengganti presiden. Meminta diganti tapi belum jelas siapa penggantinya. Aneh kan?
Ini menggambarkan pertama, penyebaran kaos ganti presiden itu sekedar euforia sesaat, semacam kegiatan politik instan. Muncul sesaat dan berakhir sesaat. Sebab tak memiliki visi dan misi politik ke depan serta tidak dalam kerangka proses kepentingan perkembangan demokrasi yang sehat.
Jangankan setinggi jabatan presiden, dalam lingkungan sempit seperti ketua RT, Ketua RW saja, ketika muncul wacana untuk mengganti, jauh-jauh hari sudah dipersiapkan nama penggantinya. Masyarakat mendapat informasi siapa yang akan menggantikan agar tidak ada kekosongan jabatan. Demikian pula masyarakat memiliki pertimbangan apakah yang akan menggantikan nanti lebih baik atau jangan-jangan justru lebih buruk. Masyarakat tidak sekedar diajak mengganti tetapi juga diberikan jaminan sudah ada pengganti yang lebih baik.
Sekedar meminta diganti saja memunculkan dugaan sebatas bersemangat ketaksukaan, apriori sesaat. Bukan atas dasar obyektivitas dan penilaian jernih kinerja. Semangatnya sangat mungkin muncul sekedar “asal diganti” dan bukan kepentingan mencari dan berupaya menampilkan yang jauh lebih baik.
Cara-cara seperti ini bukan hanya jauh dari mencerdaskan pemikiran politik masyarakat. Lebih jauh lagi memperlihatkan ketidaksiapan konsepsi politik dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Masyarakat cenderung dikondisikan pada satu situasi dan kemudian diarahkan pada situasi lainnya, yang sama sekali tidak memberikan pilihan-pilihan rasional.
Kedua, kampanye ganti presiden 2019 yang tanpa menyebutkan siapa penggantinya itu mengindikasikan belum sepenuhnya ada alternatif pengganti yang lebih baik, apalagi yang jauh lebih baik. Padahal keinginan mengganti seharusnya disiapkan pula siapa yang akan menggantikan.
Kemungkinan lainnya ada semacam kekhawatiran bila menampilkan tokoh justru akan makin membuka wawasan masyarakat bahwa memang tidak mudah di saat sekarang ini mencari pengganti yang lebik baik. Akan terlihat oleh masyarakat betapa tokoh yang katakanlah digadang-gadang akan menggantikan ternyata tidak lebih baik bahkan jauh dari kualitas yang ada.
Ini jelas bukan semacam over confidensi pada kepemimpinan Presiden Jokowi sekarang ini. Tetapi lebih merupakan fakta dan kenyataan riil bahwa hampir semua survei masih memperlihatkan kepercayaan masyarakat pada Presiden Jokowi. Elektabilitas Jokowi masih jauh meninggalkan kandidat presiden lainnya, yang sudah beredar di tengah masyarakat. Bahkan sebagian besar hasil survei memperlihatkan ketimpangan karena tidak ada calon presiden lain yang elektabilitasnya melebihi setengah dari elektabilitas Presiden Jokowi.
Peta politik dari berbagai survei itu memberi gambaran tegas dan jelas bahwa kampanye ganti presiden bukanlah representasi sebagian besar masyarakat negeri ini. Buktinya kepercayaan masyarakat masih sangat tinggi dan memberikan apresiasi luar biasa terhadap kinerja pemerintah pimpinan Presiden Jokowi.
Dalam kehidupan demokrasi yang sehat proses pergantian kepemimpinan bersemangat kompetisi mencari yang terbaik. Masyarakat ditawarkan berbagai pilihan-pilihan jernih dan rasional untuk mencari yang terbaik. Demikian pula figur-figur yang akan dipilih dipaparkan terbuka sehingga masyarakat dapat mengukur siapa yang layak dipilih dan bukan sekedar digiring agar diganti. Jika masyarakat dicerdaskan dan dikembangkan pemikirannya untuk memilih berpeluang lahir pemimpin berkualitas.
Tidak perlu diteriakkan ganti presiden. Jika masyarakat memang memiliki pilihan lebih baik sudah pasti otomatis akan terganti presiden. Demikian pula, jika ternyata secara obyektif Presiden Indonesia sekarang masih terbaik, masyarakatpun akan berupaya memilih kembali.
Demikianlah iklim demokrasi yang sehat. Dikedepankan rasionalitas masyarakat, ditumbuhkan kejernihan berpikir dan obyektivitas bukan justru digiring melalui wacana yang menumpulkan akal sehat.