JAKARTA, koranmadura.com – Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang membatasi masa jabatan wapres dan presiden hanya dua periode digugat oleh sejumlah orang ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengajukan uji materi Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) Undang-Undang Pemilu.
Para pemohon adalah Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi yang diwakili Abda Khair Mufti, Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa yang diwakili Agus Humaedi Abdillah, dan seorang pemohon perorangan, Muhammad Hafidz.
Kuasa hukum para penggugat, Dorel Amir, mengatakan kliennya menggugat pembatasan masa jabatan wakil presiden karena menginginkan Jusuf Kalla kembali maju dalam pilpres 2019 untuk mendampingi Joko Widodo.
Ia menganggap hingga kini belum ada figur wakil presiden yang layak mendampingi Jokowi seperti Kalla. “Dia ini sosok tengah yang bisa diterima kelompok mana saja,” kata dia pada Ahad, 29 April 2018.
Kedua pasal yang digugat itu membatasi seseorang hanya dapat menjadi presiden ataupun wakil presiden selama dua kali dalam jabatan yang sama. Selain itu, saat mencatatkan diri ke Komisi Pemilihan Umum, pendaftar harus menyerahkan surat pernyataan belum pernah menjabat selama dua kali pada jabatan yang sama. Penggugat meminta frasa “selama dua kali dalam masa jabatan yang sama” dibatalkan oleh MK.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahiyangan, Asep Warlan Yusuf, mendukung pengajuan uji materi UU Pemilu. Putusan MK nantinya diharapkan dapat memberi kejelasan mengenai batas masa jabatan seorang presiden dan wakil presiden. “Apakah itu berturut-turut atau tidak,” kata dia.
Konstitusi dasar negara sebenarnya telah mengatur mengenai masa jabatan wapres dan presiden. Hal ini tertera dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945. Aturan dasar itu dulu dibentuk dengan semangat menghindari seseorang berkuasa terlalu lama seperti sebelum era reformasi. “Tapi semangatnya saat itu, baik berturut-turut atau tidak, tetap tidak boleh lagi setelah dua kali menjabat,” kata Asep.
(Tempo.co/MK/VEM)