Acara Indonesia Lawyer Club (ILC) seperti biasa selalu meninggalkan “masalah” sehingga menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Ini menggambarkan bahwa acara ILC memang tergolong menarik dan mendapat perhatian masyarakat.
“Sisa” perdebatan di ILC lalu misalnya – apalagi kalau bukan pernyataan Rocky Gerung yang menyebut kitab suci sebagai fiksi. Karuan berbagai reaksi masyarakat bermunculan antara pro dan kontra. Perdebatanpun terutama di media sosial berlangsung seru. Sebuah gambaran –semoga- makin dewasanya masyarakat untuk berdialog, berdiskusi secara sehat.
Menurut Rocky Gerung fiksi adalah narasi yang bersifat imajiner, mengarah ke masa depan, hingga para pembaca bisa berimajinasi tentang hal tersebut. Contoh dalam kitab suci mengatakan tentang keindahan surga yang diperuntukkan untuk orang yang suka beramal baik. “Kita belum merasakannya tapi kita bisa membayangkan seperti apa keindahan di surga hingga orang-orang berbuat baik. Itu fiksi. Saya berani berkata kitab suci itu fiksi atas dasar definisi itu,” jelasnya.
Wikipedia memaparkan bahwa fiksi adalah sebuah prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
Sekalipun hanya menyebut kitab suci, sudah tentu Alquran termasuk yang dimaksud di dalamnya yang disebut sebagai fiksi. Kecuali jika memang ada yang beranggapan bahwa Alquran bukan kitab suci.
Di sini mungkin menarik mengkaji pendapat Rocky Gerung. Pertama, ketika menyebut imajiner. Benarkah kitab suci khususnya Alquran hasil imajiner? Imajiner siapa? Nabi Muhammad? Dalam beberapa ayat alqur’an menegaskan tentang berbagai peristiwa masa lalu. Bahkan dalam satu ayat meminta kepada kaum kafir Quraisy agar mengamati, mempelajari sisa-sisa azab kepada kaum Ad, Tsamud dan lainnya dalam perjalanan dagang mereka dari Mekkah ke Syam.
Itu kisah yang terjadi di masa sebelum Al Qur’an turun. Muatan sejarah kontekstual di masa Arabpun terpapar jelas seperti Perang Badar, Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah dan masih banyak lagi. Adakah ini hasil imajenir? Ahli manapun memahami bahwa itu fakta sejarah, non-fiksi dan bukan imajiner.
Sangat jelas Alquran memaparkan fakta sejarah dan menantang kaum Arab di masa itu untuk melihat, mengkaji dan mengambil pelajaran dari bukti arkeologis yang mudah terlihat dalam perjalanan perdagangan mereka. Bisakah data-data arkeologis disebut sebagai imajiner?
Kedua, fiksi sebagai hasil karya? Jika mengacu pada difinisi Wikipedia tentang fiksi maka kitab suci Alquran merupakan hasil karya manusia. Sebagian kaum quraishpun menyebut ayat-ayat Alquran sebagai syair karya Nabi Muhammad dan Allah membantah sangat keras. “Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan kepada Rasul yang mulia dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”QS. 69:40-41).
Dalam ayat lain disebutkan, “Dan orang-orang kafir berkata: Al Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar.” (QS. Al-Furqan: 4).
Banyak sekali kajian teologi dan sejarah yang menegaskan kebenaran Al-Quran sebagai firman Allah dan bukan karya manusia. Personaliti Nabi Muhammad yang hampir seluruh ahli sejarah mencatatnya ummi, tidak bisa membaca dan menulis makin meyakinkan kebenaran Al-Quran sebagai firman Allah. Keindahan bahasa Alquran makin menegaskan itu.
Ketiga, fiksi merupakan karya imajiner yang memang mungkin bisa terwujud setelah dilakukan kajian-kajian oleh para ilmuwan. Namun tak semua fiksi bisa menjadi karya kongkrit. Bagaimana dengan surga dan neraka, jika dianggap sebagai bagian dari fiksi? Itu artinya terbuka kemungkinan ada atau bisa jadi tidak ada.
Benar bahwa tidak semua ajaran agama bisa dijelaskan dengan akal sehat dan bukti-bukti ilmiah kekinian seperti surga, neraka. Tetapi hal-hal sakral itu mendapat berbagai penjelasan rasional dengan bukti-bukti riil misalnya dalam bentuk perilaku sosial. Aspek-aspek sosial dalam Alquran sering menjelaskan sebagai perumpamaan akherat, yang memang tak dapat dirasionalkan. Termasuk berbagai peristiwa dasyat alam semesta menjadi bagian dari penjelasan rasional Alquran untuk hal-hal yang memang masih belum terjadi, yang memerlukan keimanan.
Lalu, apakah itu kitab suci itu fiksi; hasil imajinasi hanya karena ada sedikit saja hal yang belum bisa dibuktikan di hari ini? Silahkan disimak data-data sejarah Alquran dan ajaran-ajaran rasional dalam hubungan sosial lainnya. Selanjutnya, tergantung bagaimana cara seseorang memandang.