JAKARTA, koranmadura.com – Di tengah perdebatan antara wacana pilkada tidak langsung atau melalui DPRD dan pilkada langsung seperti saat ini, Kementerian Dalam Negeri justru menerima usulan agar pilkada digelar secara online.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono mengatakan perdebatan soal pilkada tidak langsung dengan pilkada langsung akan dikaji.
“Saya kira banyak sekali pro-kontra, tapi posisi Kemendagri sampai hari ini masih di tengah, mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk kemudian dikaji,” kata Soni di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu, 25 April 2018.
Namun, untuk saat ini, posisi Kemendagri, menurut pria yang karib disapa Soni itu, hanya menerima masukan. “Tapi untuk kali ini sampai pemilihan pilkada selesai, kita nggak akan melakukan action apa-apa. Tapi, sebagai masukan ke depan, itu bisa dipertimbangkan,” tuturnya.
Masukan ke Kemendagri soal wacana pilkada langsung dan tak langsung berimbang. Berbagai pertimbangan, disebut Soni, terkait masukan-masukan itu. “Memang ada masukan dengan berimbang, separuh mendukung, separuh tidak mendukung,” kata Soni.
Soni menyebut mereka yang mendukung pilkada tidak langsung beralasan soal biaya yang murah. Sedangkan mereka yang tak setuju pilkada tak langsung lantaran dianggap sebagai langkah mundur demokrasi.
“Yang mendukung kembali ke DPRD karena biaya murah, sedangkan (pemilihan) langsung itu mahal. Karena mahal, orang lalu cari-cari (biaya tambahan). Lalu ada politik pengembalian modal, mencari pengembalian modal, sehingga korupsi terjadi karena biaya politik pemilihan langsung mahal. Itu karenanya mereka memilih DPRD. Terutama semua hampir sebagian besar anggota DPRD mendukung pemilihan lewat DPRD paling tidak semuanya,” ucap Soni.
“Kedua, (pendukung) pemilihan langsung menilai, kalau kembali ke DPRD, itu langkah mundur nilai demokrasi. Saya kira mending diperbaiki hal yang kurang selama pemilihan langsung. Yang diperbaiki apanya? Misalnya biaya saksi. Itu kan bisa di-cover dengan biaya pemerintah, antara lain. Terus kampanye kurangi waktunya atau dikurangi lembaganya,” Soni memaparkan.
Bahkan terlepas dari perdebatan itu, Soni menyebut ada ide menyelenggarakan pilkada secara online. Dengan begitu, menurut Soni, tidak ada lagi pengerahan massa yang berbiaya mahal karena pemilihan dilakukan secara online.
“Bahkan ada ide, agar biaya murah, pakai online saja. Kampanye pakai digital saja, kan eranya sudah era informasi. Nggak perlu lagi harus berbondong-bondong, kemudian pakai pengerahan massa yang berbiaya mahal. Bahkan ada yang mengembangkan e-voting agar berbiaya murah daripada bayar saksi agar e-voting sekaligus,” ucap Soni. (DETIK.com/MK/DIK)