JAKARTA, koranmadura.com – Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan jika banyak indikasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terlibat korupsi. Hal itu diungkapkan Syarif saat ditanya soal apakah ada BUMN lain yang terindikasi melakukan korupsi seperti yang dilakukan PT Nindya Karya beberapa waktu lalu.
“Adalah betul bahwa banyak indikasi bahwa perusahaan-perusahaan milik negara ini melakukan hampir-hampir hal yang sama (melakukan indikasi korupsi),” katanya, Jumat, 13 April 2018.
Dilanjutkan Syarif, Hal itu telah dikuatkan oleh bukti-bukti yang berhasil KPK kumpulkan sejak 2006 hinngga 2011 lalu. Menurutnya, setelah dilakukan pengecekan di lapangan, data itu betul-betul mendukung.
“Tapi kenapa kita pilih sekarang ini? Karena memang ketersediaan bukti-buktinya memang sudah dari 2006-2011 alat bukti itu sudah banyak terkumpulkan dan kita lakukan pengecekan lapangan dan itu betul-betul mendukung sehingga hari ini kita putuskan untuk mengumumkannya,” tambah Syarif.
Syarif menyatakan sebuah korporasi dinyatakan terlibat korupsi jika memenuhi sejumlah syarat.”Pidana korupsi itu bisa dilimpahkan kepada suatu korporasi apabila yang melakukannya itu salah satunya adalah pengurus. Yang kedua, akibat perbuatan itu korporasinya mendapatkan keuntungan dari situ jadi itu biasanya satu yang menjadi syarat kapan suatu korporasi itu bisa dimintakan pertanggungjawabannya dan itu bukan cuma di Indonesia tapi juga ada diluar negeri,” ujar Syarif.
Selain itu, Syarif menyatakan KPK bakal melakukan pencegahan korupsi yang mungkin terjadi di dalam BUMN. Salah satunya dengan membantu memperbaiki tata kelola di internal BUMN, termasuk PT Nindya Karya yang telah menjadi tersangka.
“Bagaimana KPK memperbaiki tata kelola PT NK (Nindya Karya) sendiri. Karena ini kasusnya sedang berjalan maka khusus untuk itu kami akan tunggu dulu pada putusannya,” jelasnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati sebagai tersangka terkait kasus korupsi pelaksanaan pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang 2006-2011. Dalam kasus ini, kerugian negara disebut mencapai Rp 313 miliar.
“Diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 313 miliar,” ucap Syarif. (DETIK.com/ROS/DIK)