Luar biasa tanggapan masyarakat negeri ini terhadap pembacaan puisi Sukmawati yang dianggap menghina Islam. Berbagai sudut pandang bertebaran di media sosial seperti facebook, twitter dan lainnya. Media mainstream tak ketinggalan mengulas tuntas tanggapan berbagai kalangan dalam menanggapi puisi Sukmawati.
Meme-meme lucupun seperti biasa tak ketinggalan menyelinap di antara komentar bernada panas maupun yang sedikit rasional; termasuk yang bernada membela sangat halus pembacaan puisi Sukmawati. Yang sedikit menahan diri mencoba mengajak memahami perjalanan kehidupan Sukmawati yang memang penuh lika-liku berat dari sejak kecil ketika sang ayah Soekarno masih memegang jabatan sebagai Presiden sampai ketika Sukmawati ikut merasakan suasana kejiwaan ketika Bung Karno tak lagi menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Yang menelisik materi puisi dari kata perkata tak ketinggalan. Sebuah tulisan menarik sempat beredar yang menyebutkan puisi Sukmawati jiblakan dari puisi psikolog Ireni Radjiman. Tak jelas benar dari mana dasar asumsi itu. Sebab subtansi kedua puisi justru bertolak belakang; yang satu membanggakan Islam, yang satunya terkesan melecehkan. Bahwa ada beberapa kata sama, tidak lantas membuat kedua puisi sama.
Sebuah tulisan Kang Jalal yang bercerita tentang muaddzin bersuara jelek sehingga seorang membatalkan keinginan masuk Islam berjudul Keberagaman Yang Tulus Keberagamaan Sejati tak ketinggalan menyelinap pula ikut meramaikan hiruk pikuk perbincangan puisi Sukmawati. Tujuannya? Mungkin ingin mengingatkan bahwa memang ada adzan yang terdengar kurang menarik dan bernada sumbang. Padahal tulisan Kang Jalal lebih berbicara soal serius tentang keislaman sejati sedang soal adzan bersuara sumbang sekedar pengantar titik masuk.
Dan masih banyak lagi perspektif lain yang menggambarkan betapa “dahsyat” reaksi masyarakat merespon puisi Sukmawati itu. Termasuk yang paling aktual tentang permohonan maaf Sukmawati yang dikomentari beragam pula.
Inilah kenyataan belantara dunia media sosial era now. Masyarakat bukan lagi menjadi konsumen berita tetapi berperan dalam penyebaran berita. Bisa dibayangkan betapa sesak atmosfir pemberitaan. Apalagi ketika sebuah berita bisa begitu cepat beredar tanpa lagi diberengi kesadaran kontrol bernama tanggungjawab sosial. Masih lumayan jika yang terpapar merupakan fakta atau bahkan opini yang jelas sumbernya. Bagaimana bila ternyata akurasi data meragukan atau berupa fitnah sementara penyebaran telah mencapai sudut-sudut sempit seluruh lapisan masyarakat. Bisa dibayangkan dampak besarnya.
Di sini tampak sangat jelas dua hal mengemuka dan kini mewabah di tengah masyarakat. Pertama, kegairahan tinggi menyampaikan berita apapun. Celakanya semangat itu tidak dibarengi apa yang disebut cek and ricek. Yang penting sebar dan sebar sehingga batin merasa puas karena merasa tergolong sebagai orang pertama, merasa paling awal mengetahui informasi yang bisa jadi belum jelas kebenarannya.
Karena sekedar bermodal semangat ingin menyebarkan bukan hal luar biasa jika kemudian hal kedua merebak pula: sorotan tidak pada kedalaman persoalan dan cenderung sekedar bermain-main pada sensasi serta permukaan. Mirif trend dalam menikmati lagu pop. Ramai sesaat kemudian tenggelam tanpa ada jejak berarti. Mudah lupa dan biasanya mengabaikan persoalan subtansinya.
Puisi Sukmawati yang menganggap suara adzan kalah merdu dengan kidung, bisa dipahami bila direspon bernuansa sedikit marah. Tapi, seperti tulisan Kang Jalal, setelah bercerita soal muaddzin bersuara jelek, perlu lebih dalam lagi mengkaji persoalan riilnya. Masih banyak soal besar yang bukan sekedar adzan yang kurang merdu. Bahkan, yang terkait adzan yang kurang merdupun sebenarnya banyak hal yang perlu dikaji lebih dalam lagi.
Di media sosial pernah beredar cerita satire tentang seorang yang adzan pada jam 10 pagi, masih jauh dari waktu sholat dhuhur. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi masjid dan memarahi si muaddzin dengan menyebut gila. Muaddzin menjawab, “Lho, saya adzan jam segini bapak-bapak dan ibu-ibu datang ke masjid. Ketika saya adzan waktu sholat dzuhur tak banyak dari bapak-bapak yang datang. Lalu, siapa sebenarnya yang kurang waras?” katanya, membuat mereka yang datang terdiam.
Mungkin jauh lebih menarik sebenarnya, jika ingin serius, merespon puisi Sukmawati, mempertanyakan pula seberapa jauh panggilan adzan mampu menggerakkan ummat Islam ke masjid atau melaksanakan sholat. Adakah pula pengaruh berbagai peribadatan pada kesadaran ummat Islam terhadap berbagai persoalan di tengah masyarakat? Adakah perhatian dahsyat pada persoalan narkoba yang telah menghancurkan hampir 6 juta ummat Islam itu, seperti perhatian pada puisi pelecehan Sukmawati? Seriuskah ummat dalam merespon persoalan korupsi termasuk pula yang dilakukan para pejabat? Atau masih sibuk bagaimana memilih pemimpin sekedar muslim, belum mencantumkan syarat-syarat serius lain seperti shiddiq, amanah, tabligh dan fatonah?
Tak ada yang salah merespon soal puisi. Bahkan bisa jadi harus! Tapi ayolah, jangan terus menerus bermain di wilayah seremonial semata, jangan yang artifisial dan elementer saja lantas dibiarkan berlalu. Begitu.