SAMPANG, koranmadura.com – Muhdi, terdakwa kasus penembakan yang menewaskan Sahral (45), warga Desa Bire Timur, Kecamatan Sokobanah, Kabupaten Sampang, divonis 8 tahun penjara. Muhdi melanggar Pasal 338 KUHP.
Pantauan koranmadura.com, saat Majelis Hakim mengetuk palu vonis di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, Rabu, 25 April 2018, Ismana, anak korban, jatuh pingsan. Ismana mengatakan, Muhdi yang divonis 8 tahun penjara adalah produk hukum gagal.
Menurutnya, penegak hukum malah mendakwa orang yang tidak bersalah. Sebab, Muhdi bukan pembunuh ayahnya yang sebenarnya. Pihak keluarga ngotot tetap menyatakan bahwa pembunuh Sahral adalah Syaifudin, warga Bire Timur, Kecamatan Sokobanah, Kabupaten Sampang.
“Di mana penegakan hukum di Sampang ini. Kok bisa-bisanya orang yang bukan pembunuh malah dihukum apalagi divonis 8 tahun penjara. Pembunuh ayah saya itu Syaifudin bukan Muhdi. Saya sudah bertemu dengan Muhdi, dan dia (Muhdi) menyatakan sendiri kepada saya bahwa dirinya hanya sebagai pengganti saja,” tutur Ismana, Kamis, 26 April 2018.
“Herannya lagi, waktu kejadian Syaifudin ini terluka bacok pada tangannya, yang bacok dengan celurit itu Azis, ponaan korban sendiri yang sudah mengakui perbuatannya di dalam persidangan, tapi sampai sekarang tidak diproses hukum,” tambahnya.
Sementara penasihat hukum terdakwa, Abd Razak mengatakan, kliennya divonis selama 8 tahun penjara berdasarkan Pasal 338 KUHP. Sebelum divonis, kliennya dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan ancaman 12 tahun penjara.
“Majelis hakim menilai bahwa klien kami terbukti melanggar pasal 338 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa. Kasus ini masih belum inkrah karena terdakwa masih diberi kesempatan selama seminggu untuk pikir-pikir, dan 14 hari ke depan apakah mau mengajukan banding atau tidak,” jelasnya.
Berdasarkan fakta persidangan, Razak mengatakan bahwa ada dua kategori saksi, baik pihak terdakwa maupun dari pihak korban.
“Ada dua saksi yang sama-sama mempunyai kekuatan, tapi malah lebih kuat saksi yang menyatakan bahwa Muhdi adalah pelaku penembakan. Dengan bukti pendukung yaitu kepemilikan senjata api dari hasil labfor. Kepemilikan senpi juga diatur dalam UU Darurat No 12 Tahun 1951 dengan ancaman 12 tahun penjara,” terangnya.
Usai sidang, situasi di dalam ruang sidang sempat memanas dan cekcok mulut. Keluarga korban menuding majelis hakim tidak mampu menegakan hukum untuk Sahral. (MUHLIS/MK/VEM)