SAMPANG, koranmadura.com – Hasil Sidak Balai Besar pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Surabaya terhadap makanan takjil di tempat bazar yang berada di Monumen Trunojoyo Sampang tentu harus menjadi pembelajaran bagi Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat.
Beberapa hari yang lalu, ada sebanyak 5 dari 26 sampel makanan yang diketahui mengandung bahan pengawet boraks dan formalin setelah dilakukan uji lab cepat yang dibawa langsung dari Surabaya.
Ketua pegiat Jaringan Kawal Jawa Timur (Jaka Jatim) Korda Sampang, Sidik mengatakan, temuan makanan berbahaya juga ditemukan pada 2017 lalu yakni pada momen yang sama.
BBPOM Surabaya juga menemukan makanan yang beredar di tempat bazar Monumen Trunojoyo Sampang mengadung bahan pengawet boraks dan rodhamin B atau pewarna tekstil.
Sehingga pihaknya menilai, Dinkes gagal melakukan sosialisasi kepada pedagang.
“Karena setiap tahunnya Dinkes itu telah dianggarkan untuk kegiatan sosialisasi dan pembinaan. Jadi akui saja kalau dinkes itu gagal menjalankan program dan tidak usah tutupi kebrobrokannya. Sama halnya dengan program Jampersal yang sosialisasinya juga tidak jalan, dan ketika dikritik jawabannya seolah-olah orang lain yang salah, itu sangat tidak gentle,” tudingnya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sampang, Firman Pria Abadi menyatakan, hasil temuan sidak tersebut adalah standart dari BPPOM bukan standart dari Dinkes Sampang. Namun hasil tersebut akan diberikan kepada instansinya agar dilakukan pembinaan terhadap penjual takjil yang mengandung bahan berbahaya tersebut.
“Kami hanya melakukan pembinaan. Dan tidak boleh menjustice pedagang karena akan merusak pasar. Yang pastinya kami hanya melakukan pembinaan dan pengawasan kedepannya,” terangnya, Senin, 28 Mei 2018.
Firman mengatakan, setelah dilakukan klarifikasi, para pedagang menyebut bahwa barang dagangannya adalah titipan orang. Sejauh ini, selain melakukan pembinaan dan sosialisasi, pihak juga melakukan penelusuran terkait bahan-bahan yang digunakan pedagang.
“Seperti ikan, darimana asalnya dan semacamnya. Nah setelah dilakukan sosialisasi dan tetap menjualnya kembali maka kami akan serahkan kepada pihak berwenang karena bisa merugikan kesehatan masyarakat. Tapi jika murni ketidaktahuan dari pedagang, maka kami fasilitasi untuk dilakukan pembinaan,” tuturnya. (MUHLIS/MK/DIK)