Mencermati sepak terjang negara Cina sebagai raksasa ekonomi dunia, tak seorangpun yang berpikir jernih dapat menghindar dari kekhawatiran. Jika negara sebesar Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan lainnya merasa khawatir dengan ekspansi ekonomi Cina apalagi negara seperti Indonesia.
Amerika Serikat saja, sejak tahun 1996 sudah mulai kelabakan menghadapi ekspansi produk Cina. AS kemudian memberlakukan kuota agar Cina tidak semena-mena dalam mengekspor produknya. Respon Cina tak kalah cerdik lalu mengekspor berbagai produknya dari negara lain. AS merespon memberlakukan registrasi regional pada berbagai produk yang masuk. Itupun ternyata belum cukup.
Jepang, belakangan tak kalah kelabakan. Produk-produk elektronik Jepang pelan-pelan mulai tergusur produk elektronik Cina yang memiliki kualitas sama namun harga jauh lebih murah. Konon, Jepang kini hanya mengandalkan produksi mobil dan pariwisata karena mulai keteteran menghadapi serbuan produk elektronik Cina.
Selesai, ancaman dari Cina terhadap Jepang? Belum. Ternyata Cina belakangan juga memproduksi mobil. Ada merk Wuling dan merk DFSK Sokon Glory yang belakangan mulai banyak terlihat di jalan-jalan kota besar negeri ini. Soal kualitas? Jangan ditanya. Mereka tak kalah. Dan seperti biasa, mereka mampu menyamai dari kualitas dan menghancurkan dengan tawaran harga yang lebih jauh murah. Bisa dibayangkan betapa pusing Jepang ketika sebuah mobil sekelas CRV yang berharga lebih 400 juta dijual seharga 260 juta. Benar-benar dasyat.
Itu fakta-fakta riil tentang ekspansi ekonomi Cina yang membuat negara industri manapun harus berpikir keras. Nah bila negeri seperti AS, Eropa dan Jepang, termasuk Korea ancang-acang kaki apalagi negeri ini. Wajar sebenarnya bila belakangan di negeri ini merebak kekhawatiran pada ekspansi Cina.
Berbeda dengan negara lain yang merespon secara rasional dan berusaha menghadapi tantangan persaingan, sayangnya di negeri ini yang dikembangkan lebih bersifat emosional serta kecenderungan SARA; bernuansa kebencian etnis. Yang paling sering diteriakkan adalah hanya soal TKA yang disebut-sebut sebagian besar dari Cina; ketergantungan utang pada Cina dan hal emosional lainnya. Lebih parah lagi ketika respon emosional itu dilatarbelakangi kepentingan politik; bukan sebuah reaksi obyektif, rasional dan upaya mencari solusi komprehensif. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah yang terbentang di depan mata, malah sebaliknya: negeri ini berpeluang makin keteteran menghadapi berbagai ekspansi Cina.
Coba cermati ilustrasi menarik berikut. Ketika sebuah produk Cina dengan kualitas sama atau bahkan lebih baik dijual dengan harga hanya 40-50 persen di depan pintu gerbang pabrik lokal, siapa yang bisa melawannya. Celakanya lagi, respon masyarakat kontraproduktif. Masyarakat senang membelinya tanpa berpikir bahwa pabrik lokal gulung tikar hingga banyak muncul pengangguran.
Lalu, apa kunci Cina hingga merajalela seperti sekarang? Mereka punya mimpi (dream). Lalu mewujudkan mimpi itu dengan kerja keras (down to earth) serta melakukan sesuatu dengan benar dari sesuatu yang benar (do things right from the right things). Mereka mempratekkan consolidation, shared service, integration, UKM empowerment, collaboration, government enterprise.
Menghadapi mereka tak bisa lagi berleha-leha. Mungkin menarik belajar dari etos Korea ketika mereka memantapkan tekad untuk bersaing dengan Jepang. Mereka berpikir jika sekedar meniru disiplin waktu Jepang, tak akan pernah bisa menyamai apalagi melampaui. Karena itu Korea memancangkan semboyan bahwa “tepat waktu itu terlambat.” Sebuah slogan yang menegaskan bagaimana mereka harus memulai bekerja keras menghadapi persaingan tajam.
Tidak ada waktu lagi merengek atau bersikap sinis apalagi emosional terhadap keberhasilan dan kejayaan kelompok masyarakat atas dasar etnis. Yang harus dilakukan adalah memulai bangkit dengan konsolidasi, bekerja keras, membangun kebersamaan dan memberikan apresiasi pada karya anak negeri. Mereka yang masih muda, sudah selayaknya mempersiapkan diri dengan belajar tekun dan tidak sibuk menebar kebencian. Itu jika tak ingin makin jauh ketinggalan.